Friday, April 23, 2010

Cerita Si Bungsu

Sore itu, saya yang mendapat giliran membersihkan rumah. Lap tipis dan sapu yang ringan terasa berat ditangan saya. Ahh saya malas bersih-bersih disore hari. Rasa-rasanya jam segitu lebih enak dipakai untuk bersantai sambil menikmati suguhan gosip di TV dengan cemilan ala kadarnya.
Hmm...

Sambil me-lap foto mama dan papa yang dipajang dimeja, saya bertanya iseng pada Mbah yang duduk tak jauh dari tempat saya.

Saya : Mbah, kata Mbah, mama sama papa mirip nggak, sih?
Mbah : ndak...
Saya : Kenapa nggak mirip? kan kata orang Jawa, katanya kalau jodoh suka mirip?
Mbah : Ya ada sih mirip sedikit.

Saya menggangguk pelan, sambil masih mengarahkan pandangan ke foto kedua orang tua saya, mencoba mengidentifikasi kemiripan keduanya.

Mbah : Tapi mama sama papa kamu bagus, soalnya sulung sama bungsu.
Saya : Emang kenapa gitu, Mbah?
Mbah : Ya kan kalau kata orang Jawa, suami istri yang sulung sama bungsu itu bagus, pas gitu....

Mbah masih tetap meneruskan penjelasannya diselingi istilah-istilah Jawa yang tidak saya mengerti. Saya hanya mengangguk dan mengiyakan penjelasannya saja. Sambil mencoba menyimpulkan bahwa pasangan suami istri antara si sulung dan si bungsu itu dinilai baik oleh kalangan para orang tua Jawa, dengan alasan dapat saling melengkapi satu sama lain.

Saya kembali melanjutkan aktivitas bersih-bersih sambil bergumam: ohhh bungsu, cepatlah datang....

Monday, April 19, 2010

Negosiasi

Aku rindu. Lama sekali kita tak bertemu. Hmm... jangankan bertemu, menyapa pun harus aku lakukan dengan usaha yang menguras tindakan dan pikiran. Mungkin bukan kamu yang tidak mau bertemu, tapi karena aku yang terlalu memaksakan diri untuk menjauh.

Hmm... memang kita terpisah jarak ya? Bukannya kamu selalu ada disaat aku sedih atau senan, kan? Berarti memang aku yang membentuk jarak diantara kita. Begitu ya?

Oh ya, terimakasih atas hadiahmu beberapa bulan yang lalu. Walaupun aku baru menikmatinya beberapa hari belakangan ini. Aku tahu, hadiah yang kamu berikan itu berkat doaku selama ini, kan?

Tapi, hadiahmu terlalu istimewa. Terlalu berat bagiku untuk menerimanya, karena mungkin aku harus lebih banyak berbalas budi atas hadiah itu.

Aku memang menginginkan hadiah darimu, tapi bukan hadiah itu. Jujur, aku telah lama menginginkan barang lamamu yang telah lama kau simpan. Masih ada, kan? Atau memang tak ada kesempatan lagi untukku memiliki barang lamamu?

Ahh.. aku terlalu keras kepala dengan mengharapkan barang lamamu yang tidak pernah bisa aku dapatkan. Mungkin kamu bingung karena aku tidak mau menerima hadiahmu dan lebih memilih barang lamamu yang sudah usang.

Jangan marah ya, karena sikapku ini. Aku yakin, kamu masih memiliki limpahan hadiah lainnya untukku. Iya kan?

Tapi untuk sekarang, bisakah aku bernegosiasi denganmu, Tuhan?