Tuesday, July 27, 2010

Dewi Kumaratih dan Dewa Kumajaya

Hari ini adalah hari terakhir Ratih menjalani adat 'pingitan' atau 'sengkeran' sebelum melaksanakan pernikahannya dengan Jaya, calon suami yang dulu adalah kakak kelas Ratih di SMA, yang akan dilaksanakan lusa nanti. Dari sebelum subuh, Ibu sudah membangunkan Ratih untuk melaksanakan sahur dan berpuasa untuk melengkapi adat pingitan selama 3 hari belakangan ini.

Sejak dua bulan yang lalu, Bapak dan Ibu membentuk panitia yang terdiri dari kerabat dekat untuk membantu mempersiapkan segala macam persiapan untuk pernikahannya. Mulai dari lamaran, pembicaraan dengan besan dan sesepuh untuk menentukan hari pernikahan, undangan, kebaya sampai menu makanan. Ibu tidak memperbolehkan Ratih ikut repot dalam urusan pernikahan ini, kecuali untuk fitting baju dan tandhakan atau melapor ke KUA yang harus dilakukan oleh Ratih dan Mas Jaya sendiri.

"Tenang saja, Nduk. Kamu hanya cukup melaksanakan pingitan dan tata cara pernikahan saja, jadi ndak usah bantu apa-apa. Biar yang lain yang mengerjakan." Begitu kata Ibu, setiap Ratih menawarkan diri untuk memberikan bantuan.

Seperti sekarang ini, dari dua jam yang lalu Ratih menjalani ritual luluran tubuh dengan ramu-ramuan khas yang dibantu oleh Ibu Ida, rekan Ibu di arisan sekaligus pemilik rias pengantin adat Jawa, yang sengaja didatangkan oleh Ibu kerumah karena Ratih sedang dalam masa pingitan sehingga tidak boleh keluar rumah.

"Halo kanjeng putri..." teriak Byan, sabahat Ratih, yang tiba-tiba datang dan mengagetkan Ratih yang sedang menikmati ritual luluran tersebut. "Gilaaa.. Ini kamar sudah kayak salon saja. Benar-benar kayak putri lu, Tih." Byan kaget melihat kamar tamu yang sudah disulap sedemikian rupa seperti salon oleh Ibunya Ratih. Ibu Ida hanya tersenyum kecil melihat tingkah polah Byan, sambil meminta Ratih mengubah posisi berbaringnya menjadi duduk selonjoran, karena sekarang giliran jari kakinya yang akan dimanjakan oleh Ibu Ida.

"Sini.. sini.." Ratih mengajak Byan duduk disampingnya.

"Eh, kenapa sih akad nikah sama resepsi lu mesti hari Rabu? Gue kan mesti ke Surabaya, ngurusin gawean gue. Ya mudah-mudahan saja pas resepsi gue udah balik ke Jakarta." Jelas Byan.

"Yah jangan gitu dong, By. Masa pas akad nikah aku, kamu nggak ada. Terus resepsi juga terancam nggak datang." Sahut Ratih bete.

"Habisnya tanggal nikahan lu bentrok sama jadwal kerjaan gue, sih. Ya mudah-mudahan saja gue dapat pesawat pagi, biar bisa datang ke resepsi lu."

Ratih tersenyum mendengar jawaban Byan. Kalau saja ia boleh memilih kapan waktu pernikahannya, pasti Byan akan menemaninya melewati moment paling berharga dalam hidupnya. Bapak dan Ibu serta orang tua Mas Jaya beserta sesepuh yang mengerti mengenai perhitungan tanggal Jawa sudah menentukan hari baik untuk pernikahannya berdasarkan weton atau hari lahir Ratih dan Mas Jaya. Dalam masalah penanggalan, baik Bapak atau Ibu maupun orang tua Mas Jaya yang sama-sama keturunan Jawa, tidak mau asal-asalan mencari tanggal karena ini demi kebaikan masa depan pernikahan putra-putri mereka.

"Tadi gue liat didepan, nyokap lu sibuk banget, ya? Ngurusin ini lah, ngurusin itu lah. Lu juga sama, mau-maunya ngejalanin tata cara yang ribet banget, pake acara pingitan segala lagi." protes Byan sambil menikmati jenang, makanan manis dari ketan hitam. "Hebat juga lu, tiga hari nggak ketemu sama Mas Jaya-Mu. Kalau gue sih, ogah banget ngejalanin kayak ginian."

"Nikahan ala Jawa itu memang njelimet, By. Tapi itu seninya." jawab Ratih. "Dari kecil, aku memang kepengen banget nikah dengan adat Jawa. Waktu Mas Jaya ngobrol dengan Bapak perihal niatnya untuk melamar aku, Ibu jatuh hati dan langsung kepengan jadiin Mas Jaya sebagai mantunya. Apalagi pas tahu kalau Mas Jaya juga sama-sama keturunan Jawa." Ibu Ida memohon ijin ke belakang untuk mempersiapkan ramuan luluran lainnya. Ratih sejenak membenarkan kemben batik yang mulai longgar menutupi tubuhnya.

"Waktu menikahkan Mas Bara kan, ibu tidak bisa melaksanakan impiannya untuk menikahkan anaknya dengan adat Jawa. Makanya di pernikahan ini, Ibu sangat senang dan bersemangat sekali, karena impiannya sebentar lagi akan terkabulkan."

Ratih ingat, Ibu sedikit kecewa ketika Mas Bara -kakaknya- menikah. Bukan karena tidak setuju dengan Mbak Rina -istrinya-, tetapi karena pada saat itu pernikahan tidak menggunakan adat Jawa, tetapi adat Palembang sesuai dengan keinginan keluarga besar Mbak Rina. Tetapi kekecewaan Ibu kini terobati. Sebentar lagi, perayaan adat Jawa yang terbilang mewah akan diselenggarakan. Pernikahan ini sengaja dilaksanakan secara besar-besaran, karena menjadi pengalaman pertama bagi keluarga Mas Jaya. Sedangkan untuk keluarga Ratih, ini adalah pernikahan penutupan karena Ratih adalah anak bungsu.

Tidak ada lelah yang terlihat di wajah Ibu, kecuali senyuman yang mengembang dengan ringan dibibirnya. Berulang kali, Ibu mengingatkan Ratih karena besok akan diadakan Siraman dan Midodareni, malam melepas masa lajang.

Ibu begitu sibuk dengan ritual dan kegiatan berkaitan dengan tata cara pernikahan Jawa. Untungnya Ibu tidak seperti Bu'de Endang, sahabat Ibu, yang sangat berlebihan mempercayai mitos dan pantangan dalam pernikahan Jawa. Misalnya tentang tidak diperkenankannya anak pertama dan anak ketiga untuk menikah, karena akan membentuk angka 13 yang dianggap sebagai angka sial seperti kepercayaan Orang Eropa. Pernah tahun lalu, ketika menikahkan anak bungsunya, Bu'de Endang percaya bahwa Naga Dina (naga harian) ada di selatan, sehingga ketika akan menuju rumah mempelai perempuan kita tidak boleh lewat arah utara agar terhindar dari mulut sang naga yang selalu menganga. Terpaksa saya, Ibu beserta keluarga besar Bu'de Endang harus melalui arah timur dan berjalan melewati gang sempit serta pemukiman warga yang tidak bisa dilalui mobil, demi tidak melanggar pantangan pernikahan tersebut.

Besoknya, Ibu me-recheck ubarampe atau perlengkapan untuk siraman yang akan dilaksanakan sebentar lagi. Mbak Sinta, sepupu Ratih, memberikan laporan kepada Ibu bahwa dodol dawet sudah siap.

Setelah melalui prosesi siraman yang begitu sakral dan mengharukan. Dilanjutkan dengan adat menjual dawet. Ibu yang menjadi penjualnya dan Bapak yang memayungi Ibu sambil berkeliling mencari para tamu yang menjadi pembelinya dengan menukarkan kreweng atau uang pecahan genting. Dari jauh, Ratih tersenyum melihat Ibu dan Bapak. Ibu percaya bahwa ritual ini diharapkan agar nanti saat Upacara Panggih dan resepsi banyak tamu dan rezeki yang datang.

Pada malam harinya, Mas Jaya dan keluarga besar mendatangi kediaman Ratih untuk melaksanakan midodareni. Setelah tiga hari tidak bertemu Mas Jaya, Ratih begitu pangling melihat Mas Jaya yang menurutnya semakin ganteng. Begitu juga, dengan Ratih seperti widodareni atau bidadari dimata Jaya. Dalam dunia pewayangan, kecantikan dan ketampanan calon pengantin diibaratkan Dewi Kumaratih dan Dewa Kumajaya.

Selesai melaksanakan Midodareni, Ratih segera menuju kamarnya untuk mengistirahatkan badannya agar tampil fresh esok hari. Tahap demi tahap tata cara adat Jawa telah Ratih laksanakan, tinggal menunggu tahap puncak esok harinya, yaitu akad nikah dan Upacara Panggih yang terdiri dari berbagai ritual lainnya, seperti liron kembang mayang atau menukar kembang mayang, gantal atau melempar sirih, ngidak endhog atau menginjak telur sebagai simbol seksual pecahnya pamor kedua mempelai dan simbol tanggung jawab seorang suami serta kesetiaan seorang istri, sindur atau berjalan menuju pelaminan sambil diiringi alunan gending, dulangan atau saling menyuapi sampai sungkeman.

Ibu mengetuk pintu kamar Ratih. Setelah dipersilahkan masuk, Ibu menghampiri Ratih yang sedang berbaring ditempat tidurnya.

"Nduk, Ibu sangat bahagia sekali." Sahut Ibu sambil duduk disebelah Ratih. Ratih menjatuhkan kepalanya dipangkuan Ibu. "Kewajiban Ibu dan Bapak sebagai orang tua hampir selesai. Jaya memiliki bibit, bebet dan bobot yang baik dimata Ibu dan Bapak." Ibu menghela napas sejenak sambil terus mengusapi rambut Ratih. "Ibu juga senang, karena impian Ibu untuk menikahkan kamu dengan adat Jawa sudah terkabulkan. Walaupun njelimet, tapi Ibu ndak capek. Karena dibalik ritual-ritual itu ada harapan-harapan yang baik untuk pernikahan kalian. Kamu bukan anak bau kencur lagi, Nduk. Saiki wis pecah pamore (sekarang sudah pecah pamornya)."

Ibu menutup pembicaraan dengan mengecup kening Ratih sambil meneteskan air mata. Begitu juga Ratih yang ikut terharu mendengar pernyataan Ibu. Ia memandangi kebaya modern berwarna putih yang menggantung dikamarnya yang akan dikenakan besok diacara akad nikah. Ia memejamkan mata sambil membayangkan betapa cantiknya ia mengenakan kebaya tersebut dan duduk bersanding dengan Mas Jaya di pelaminan nanti.

Friday, July 23, 2010

Just A Silly Question

Apa semua otak perempuan itu berukuran seperlima dari hatinya sehingga logika nyaris nggak ada, yang ada hanya perasaan terus?

.......
.......

Tuesday, July 20, 2010

Obrolan Es Kelapa Muda

Dengan tisu, saya menyeka peluh yang menempel di dahi. Sambil melepas jaket, saya mengutuki udara Bandung yang panas di siang hari itu. Saya berjalan mendekati kios Es Kelapa Muda, membayar rasa haus yang tertahankan sejak saya tiba di Bandung.

"Kang, meser es kelapa na hiji." Ujar saya pada Si Mang Es dengan Bahasa Sunda yang 'lumayan' untuk ukuran pendatang seperti saya. Sambil menunggu es buatan Si Mang, saya duduk di kursi kayu yang sudah disediakan sambil melihat-lihat lingkungan sekitar.

Walaupun jarak antara Bandung dan Jakarta lumayan dekat karena dipermudah dengan adanya tol Cipularang, tapi baru kali ini saya mengunjungi Bandung lagi, sekalian untuk urusan kerjaan juga. Terakhir saya datang ke Bandung sekitar 10 tahun yang lalu ketika Nenek saya masih hidup dan tinggal di Bandung. Setelah itu, saya tidak pernah lagi ke Bandung karena rumah Nenek saya sudah dijual sehingga tidak ada tempat untuk menginap, ditambah lagi dengan kesibukan pekerjaan saya.

"Nuhun, Kang." Ucap saya ke Mang Es yang mengantarkan es pesanan saya. Dengan segera saya menyeruput es kelapa tersebut. "Bandung sekarang berubah ya, Kang." Saya membuka pembicaraan. Di kios itu hanya ada saya dan Si Mang Es yang sibuk memainkan handphone sejenis Blackberry ditangannya.

"Ya iya atuh, Neng." Jawab Si Mang Es tanpa mengalihkan pandangan dari handphonenya.

Melihat kesibukan Si Mang Es, saya jadi ragu meneruskan pembicaraan. Mungkin dia sedang sibuk ber-sms-an dengan pacarnya atau ber-facebook ria.

"Sekarang mah Bandung teh rame pisan. Kayak Jakarta weh, kota met...tropo...lit...tan." Ujar Si Mang Es sambil terbata-bata mengucapkan kata 'metropolitan'. Handphonenya sudah ia masukkan ke saku celana jeansnya.

"Iya, Kang. Panasnya sih, hampir sama kayak Jakarta." Saya jadi ingat setiap saya mau liburan ke rumah Nenek di Bandung, saya dan kakak saya pasti sibuk mempersiapkan jaket dan sweater. Tidak ada yang berani mandi pagi. Kalau keluar disiang hari pun selalu menggunakan jaket atau sweater. Dan setiap malamnya, nenek selalu menyediakan semangkuk sekoteng yang dicampur air jahe dan kacang goreng untuk menghangatkan badan kami. Eh, saya jadi ingat penjual sekoteng yang suka mangkal nggak jauh dari kios es ini.

"Kang, kalau penjual sekoteng yang diseberang jalan sana masih jualan?" tanya saya.

"Tukang sekoteng?" Si Mang Es malah balik nanya dengan heran. "Ahh itu mah udah bangkrut, Neng. Si Neng mah ada-ada saja, ngapain atuh jaman sekarang nanyain sekoteng. Kiosnya juga udah dibeli terus dijadiin kape. Tuh liat..." Jawab Si Mang Es sambil menunjuk sebuah Cafe kopi diseberang jalan sana. Mobil mewah berjejer di parkiran, banyak muda-mudi yang duduk santai sambil ngobrol, merokok dan makan siang, sekedar untuk mengenyangkan perut atau menaikkan gengsi.

"Katanya Neng, disana juga mau dibangun mol." Si Mang Es menunjuk bangunan tertutup seng yang berjarak sekitar 100 meter dari cafe kopi tersebut.

"Di bangun Mall? Bakal macet, dong. Jalannya kan kecil. Kalau nggak salah, jalan itu cuma buat pejalan kaki aja deh."

"Yang jalan kakinya juga jarang atuh, Neng. Sekarang mah mobil juga boleh lewat situ. Didepan jalan sini juga ya, Neng," sambil menunjuk jalan raya didepan kiosnya. "Kalau malam sering macet. Sampai subuh juga masih rame, kan anak muda sekarang mah gaul-gaul suka ajep-ajep gitu deh." Si Mang Es menarik napas sebentar. "Kalau malam juga suka ada yang beli es kesini. Meuni pada seksi-seksi terus gareulis, tapi sok rada-rada bau minuman gitu. Ahh da saya mah senang-senang saja, nu penting mah jualan saya laku, terus saya juga bisa lihat paha gratisan. Hahaha..." Si Mang Es tertawa puas.

"Lumayan lah, daripada barudak leutik nu suka nge-lem, sok minta es tapi tara mayar." Si Mang Es menambahkan.

Benar kata Si Mang Es, di terminal Leuwi Panjang tadi saya juga melihat dua orang anak yang berumur sekitar 8 tahun, lagi mojok sambil menghisap lem aibon.

Kemudian, Si Mang Es melanjutkan pembicaraan tentang perubahan Kota Bandung yang tidak saya ketahui. Cukup lama kami terlibat pembicaraan tersebut.

Setelah menghabiskan sisa es kelapa yang masih ada digelas, saya kemudian memberi satu lembar lima ribuan ke Mang Es dan permisi pergi.

Sambil berjalan meninggalkan kios es tersebut, saya memikirkan obrolan dengan Si Mang Es tadi. Tentang Bandung yang telah berubah, tentang udara dingin yang memanas, tentang macet yang menjadi gaya hidup, tentang cafe dan mall yang menjadi aksesoris kota, tentang pesta malam yang menjadi rutinitas, tentang sekoteng yang sudah bangkrut, tentang paha yang di umbar-umbar, tentang lem aibon yang menjadi kebutuhan primer, tentang binatang yang menjadi sapaan akrab, tentang polusi yang bebas mengudara, tentang bangunan tua yang rata dengan tanah, tentang....

Ahh, rasa-rasanya niatan untuk bernostalgia dengan Bandung mulai menghilang, gumam saya dalam hati sambil mempercepat langkah menuju tempat yang saya tuju, agar saya dapat menyelesaikan pekerjaan dengan cepat dan kembali ke ibu kota.

(Catatan ringan di sela kerinduan akan semangkuk sekoteng dan Bandung tempoe doeloe)

Thursday, July 15, 2010

Huh !

Sepulang kuliah, buru-buru saya menyabet Nokia 7610 yang tersimpan disamping laptop -yang tertinggal saat akan pergi kuliah tadi pagi-. 6 pesan dan 1 missed call tertera dalam layar hape tersebut. Salah satu pesan berasal dari seorang teman. Isi pesannya singkat. Hanya meminta saya untuk meneleponnya. Saya tidak langsung balas menelepon sesuai permintaannya, karena perintahnya itu sudah dari 4 jam yang lalu.

Saya menekan tulisan 'reply' dan membalas sms-nya dengan memberi alasan atas keterlambatan merespon sms-nya dan tak lupa untuk menanyakan apa maksud dia -teman saya- meminta saya meneleponnya. Lima menit kemudian, sms balasan masuk lagi ke hape saya. Menjelaskan to the point pertanyaan saya. Dia bilang, minta ditelepon setelah magrib.

Sekitar setengah 7, dia mengirim sms lagi mengingatkan saya untuk meneleponnya. Kemudian saya menekan 'calling' dan menunggu jawaban.

Of course, ada pembukaan -tidak hanya dalam pidato- dalam percakapan telepon kami. Hanya menanyakan kabar dan segala tetek bengek pembukaan yang biasa dalam telepon.

Setelah diam beberapa saat, dia membuka pembicaraan. Mula ber-bla bla bla menceritakan apa yang ingin dia ceritakan. Cukup lama dia berbicara dan cukup lama pula saya diam dan mendengarkan. Diakhir ceritanya, dia menyelipkan kalimat: 'jadi saya harus bagaimana?'

Ups. Kenapa tanya sama saya? Lha wong dia yang punya masalah, dia yang ngelakonin, kok saya yang kebagian ngasih keputusan harus bagaimana?

...

Saya jawab: 'Gampang. Tinggal lempar terus lupain. Beres, kan?'

...

But no. Jawaban itu hanya dalam fantasi Id saya. Dalam dunia nyata, sang polisi moral dan ego saya berkolaborasi berkata: 'Jangan gegabah dulu, pikirkan dengan tenang. Salah-salah ngambil keputusan nanti nyesel ke depannya.'

Shit! Kenapa kalimat itu yang keluar dari mulut saya? Itu bukan yang saya inginkan, actually.

Lho lho lho, kok kenapa sekarang saya yang jadi repot mengutuki jawaban saya barusan? Ah andai saja dia tidak mengirim sms itu. Andai saya tak membalas sms-nya. Andai saya tidak menelepon dia. Andai....

HUH !!

Wednesday, July 14, 2010

(Bukan) Panggung Sandiwara

Beberapa hari yang lalu, seorang teman membuka ingatan saya pada satu cerita lama yang sangat, ya sangat menyebalkan dan menyakitkan. Jujur, saya agak kurang tertarik ketika dia -teman saya- memulai percakapan tentang cerita lama itu. Tapi nggak mungkin kan kalau saya pasang tampang bete didepan dia, akhirnya saya mencoba mendengarkan apa maksud pembicaraannya.

Sebelum dia meneruskan ceritanya, saya sudah menebak kemana arah pembicaraan kami. Dan benar saja, tebakan saya tepat sekali. Dia mencoba mengajak saya untuk menjawab 'Iya' dan kembali menjadi lakon disuatu panggung dan memainkan peran yang berkaitan dengan cerita lama tersebut.

Ah saya kan bukan pemain drama yang handal apalagi aktris papan atas yang terkenal. Tapi kenapa untuk kedua kalinya, saya terus diajak berperan di panggung yang sudah saya blacklist sebagai kegiatan yang tidak ingin saya lakukan lagi.

Dengan rasionalisasi keadaan panggung yang sekarat dan lakon-lakon muda yang dikhawatirkan tidak mampu mempertahankan panggung tersebut, dia tetap mengajak saya untuk bermain kembali, dengan harapan dapat membangkitkan kembali panggung tersebut. Setelah berbicara panjang lebar, dia kemudian pergi tanpa perlu saya menjawab ajakannya. Tentu saja, saya pun tidak akan langsung memberinya jawaban walaupun dia meminta, toh jawaban saya sekarang masih tetap sama dengan jawaban saya terdahulu, dan feeling saya mengatakan bahwa rekan-rekan yang senasib dengan saya pun memiliki jawaban yang sama jika diajak kembali melakon dipanggung tersebut. Tentu tidak mudah mengiyakan, karena -secara kasar- ini menyangkut harga diri.

Sebenarnya, bukan lakon-lakon muda atau panggungnya sendiri yang membuat saya tidak mau bergabung lagi, tetapi karena sutradara handal yang menguasai panggung tersebut. Yeah, ini hanya sudut pandang dan prasangka saya saja.

Sejak awal perjalanan panggung ini, saya sudah mencium ketidakenakan terhadap beliau, ditambah lagi dengan desas-desus track-record beliau yang sangat 'manis'. Dan kemudian saya pun bertemu beliau dalan suatu perayaan yang mengakibatkan kami bersitegang. Dengan segala kekesalan dan sakit hati yang membuncah dalam hati terhadap beliau -yang telah menyakiti hati saya dan rekan-rekan saya-, saya membeberkan kejahatan sang sutradara dan antek-anteknya tersebut. Walaupun mengakibatkan cibiran atau cap jelak sebagai junior-yang-tidak-tahu-sopan-santun. Terserah. Diasingkan pun saya tidak peduli. Seperti kutipan syair Gie: 'lebih baik diasingkan daripada menyerah pada kemunafikan.'

Ya, karena yang saya pedulikan adalah bagaimana caranya agar semua audiens mengetahui topeng asli dari sang sutradara. Karena semua itu semata-mata saya lakukan demi membuktikan seberapa 'sehat'nya panggung kita. Mungkin banyak yang menganggap saya sebagai pahlawan kesiangan, tetapi apakah kita harus tetap diam jika melihat ketidaksehatan didepan mata kita?

Biarlah masyarakat yang menilai. Kalimat itu yang selalu saya gumamkan setiap tak sengaja mendengar atau mendengar secara langsung dari orang-orang yang menanyakan perihal ini.

Biarkan juga waktu yang akan menjawabnya. Toh, sekarang para pecinta panggung mulai merasakan detak jantung panggung yang mulai melemah. Apalagi sepeninggal sutradara dari dunia per-panggung-an yang menyisakan warisan sebuah-maha-karya-kesemrawutan-panggung yang seolah-olah menjadi pekerjaan rumah yang harus diselesaikan oleh kami semua, termasuk saya dan rekan-rekan saya. Beuhh, permainan macam apa ini!

Tuesday, July 13, 2010

Susahnya Jadi Emak...

Bagaimana rasanya menjadi seorang baby sitter selama seminggu? Bagaimana rasanya mengurus dua ABG labil yang sangat meng'gemas'kan?

Mau tahu rasanya? Saya sudah merasakannya, dan komentar saya: SUSAH !!!

Selama satu minggu kemaren, dua adik manis saya -Dhiya (13 tahun) dan Gifar (10 tahun)- turut serta ke Bandung untuk liburan, setelah dua minggu sebelumnya saya liburan di rumah orangtua saya di Cikampek. Ini bukan kali pertama dua ranger cilik tersebut liburan di Bandung tanpa Ayah dan Ibu saya, karena mereka pernah melakukannya pada beberapa tahun yang lalu. Bedanya, waktu mereka masih kecil mungil, mereka masih gampang diatur, sedangkan sekarang ngurus mereka itu susahnya minta ampun.

Idealnya, anak seumuran mereka sudah mandiri dan bisa melakukan hal apapun tanpa bantuan orang lain. Entah karena perkembangan kemandiriannya yang belum sempurna atau karena pola asuh orangtua saya yang terlalu memanjakan, keduanya masih harus diladeni ini-itu, mulai dari sarapan, baju, sampai mesti ditemenin pas ke kamar mandi. Apalagi kalau mereka pada ribut-ribut ala Tom and Jerry. Yang satu gampang nangis, yang satunya lagi keras kepala dan nggak mau ngalah. Ini yang bikin saya jengkel dan ngomel-ngomel ala ibu-ibu. Bahkan sepupu saya sampai ngeledekin karena saking hebatnya saya menghayati peran sebagai emak-emak.

Sebagai seorang Mbak yang baik, tentu saya harus men'service' adik-adik saya dengan memuaskan, salah satunya adalah mencuci. Saya nggak kaget lagi dengan tugas nyuci, toh itu sudah menjadi pekerjaan rutin bagi saya. Yang bikin kaget adalah volume cucian adik-adik saya selama 3 hari yang sama dengan volume cucian saya selama seminggu. Kebayang kan, repotnya. Ditambah bonus cucian ngompol Gifar, yang nggak mungkin langsung saya satuin sama cucian lain di mesin cuci. Alhasil, saya mesti bekerja keras menghilangkan bau ngompolnya terlebih dahulu, sambil bergumam didalam hati 'sabar, sabar... ini latihan buat jadi ibu...'

Seminggu ini memang bisa diibaratkan sebagai Praktek Kerja Lapangan menjadi seorang ibu. Setiap saya mau pergi ke kampus atau ada urusan lain diluar rumah, saya harus meninggalkan uang jajan dan memastikan bahwa mereka berdua sudah sarapan. SMS terus masuk ke handphone yang menanyakan saya ada dimana dan kapan saya pulang, kalau saya belum pulang kerumah.

Dari sini saya jadi tahu, kenapa Ibu saya bisa sebegitu cerewet dan bawelnya saat mengurus anak-anaknya. Dan saat Ibu saya menelpon dan menanyakan bagaimana rasanya mengurusi mereka, saya berteriak 'susah ya, jadi emaaakkk !!!' yang dibalas dengan tawa renyah oleh Ibu saya.