Tuesday, August 31, 2010

Tumbuh Satu Hilang Seribu

Sejak sepuluh menit yang lalu, dua wanita duduk disalah satu meja di sebuah Resto makanan Western yang tidak jauh dari tempat mereka bekerja. Makanan yang mereka pesan belum juga datang, padahal pengunjung diresto tersebut tidak begitu ramai. Biasanya saat jam makan siang seperti ini, dari warteg pinggir jalan sampai resto kelas atas yang mereka datangi ini pasti penuh dijejali oleh para pegawai yang ingin makan siang.

Sambil menunggu pesanan, salah satu dari mereka, wanita dengan pakaian casual-formal menyalakan laptop HP hitamnya. Ia memencet sebuah tombol untuk menyalakan wireless dan mulai memasuki dunia maya. Facebook menjadi situs pertama yang ia buka selain yahoo mail.

"Eh, gue boleh pinjem facebook lu lagi nggak?" tanya wanita kedua yang mengenakan kemeja merah nan girly.

"Buat apa? Lu mau chatting sama mantan lu lagi?" tanya wanita pertama tanpa mengalihkan pandangan dari laptopnya.

"Nggak, gue nggak akan chatting sama Wisnu kok." menyebutkan nama mantannya. "Ummm.. mau nggak lu add facebook-nya si Panca?" bertanya dengan hati-hati.

"Panca? Siapa Panca?" tanya wanita pertama heran.

"Panca itu temen gue dikantor yang lama. Gue lagi butuh informasi dari dia tentang laporan kantor, soalnya atasan gue yang dulu nanyain laporan itu lagi. Sedangkan semua file-nya udah kehapus gara-gara kompi gue kena virus. Satu-satunya orang yang punya file itu ya Panca. Plis ya add facebooknya...." jelas wanita kedua sedikit memelas.

Pramusaji datang dengan nampan berisi pesanan mereka. Wanita pertama menggeserkan laptopnya untuk memberi ruang pada makanan yang mereka pesan.

"Kenapa harus pake facebook gue sih? Makasih, Mas." tanya wanita pertama seraya mengucapkan terimakasih kepada pramusaji tersebut. "Ohh gue tahu, pasti karena si Daniel kan?"

"Bukan karena Daniel." Wanita kedua membela diri. "Gue cuma nggak mau aja berurusan sama Daniel kalau ngehubungin Panca pakai facebook gue. Apalagi lewat telepon atau sms. Repot deh urusannya."

"Ya ampun. Lama-lama si Daniel kelewatan juga ya sama lu. Kemarin buat minta maaf sama Wisnu gara-gara sikap kasarnya Daniel ke Wisnu, kudu pakai facebook gue. Sekarang mau ngehubungin temen buat urusan kerjaan aja pakai facebook gue juga. Jangan-jangan, besok-besok kalau lu mau ngehubungin bokap nyokap lu, mesti pake facebook gue juga lagi. Gila tuh orang!" ujar wanita pertama penuh emosi.

"Sorry sorry, gue jadi ngerepotin lu. Tapi mau gimana lagi, kalau pakai facebook gue, ujung-ujungnya Daniel bakal marah sama gue, karena disangkanya gue ngobrol macem-macem sama temen-temen cowok gue." wanita kedua menarik nafas sesaat. "Gue jadi nyesel ngasih tahu password facebook gue ke dia." ujar wanita kedua penuh nada penyesalan.

"Pacaran sih pacaran, tapi privacy masing-masing juga dijaga dong." Tidak ada respon dari wanita kedua atas pernyataan wanita pertama. "Ya kalau gue sih, nggak apa-apa lu pakai facebook gue, gue percaya lu kok. Cuma gue kasihan aja ngeliat sahabat gue terkekang gitu sama pacarnya. Emang lu nyaman digituin? Gue sih ogah!"

Tanpa memberikan waktu untuk wanita kedua menjawab, wanita pertama sudah berbicara lagi.

"Ya sudahlah, nggak usah dijawab. Namanya juga cinta. Tai kotok aja bisa berasa coklat. Hahaha.."

Wanita kedua hanya diam sambil menghabiskan makanannya tanpa menanggapi celotehan wanita pertama.

"Waktu lu pacaran sama pacar lu sebelumnya, hubungan lu sama orang-orang lain baik-baik aja. Beda sama sekarang, ketemu si A nggak boleh, nyapa si B nggak boleh juga. Gue sih terserah lu, gimana caranya lu menyikapi hubungan ini selama itu baik buat lu. Tapi inget, ketika lu dapetin seseorang dan seseorang itu akhirnya tumbuh dihati lu, jangan sampai lu kehilangan seribu orang lain yang sayang juga sama lu." jelas wanita pertama dengan rinci sambil menyuapkan satu sendok terakhir dari makan siangnya.

Keduanya terdiam. Sibuk menghabiskan sisa makan siang mereka.

Setelah membayar makan siang mereka, keduanya kembali ke kantor karena waktu istirahat hampir habis. Selama perjalanan kembali ke kantor, tidak ada pembicaraan yang timbul diantara keduanya. Masing-masing sibuk dengan percakapan yang mereka ciptakan sendiri dalam hati mengenai apa yang telah mereka bicarakan saat makan siang tadi.

Tuesday, August 24, 2010

Another True Story

Sore itu, duduk dua anak manusia ditaman tengah kota. Sayup-sayup dari jauh terdengar suara Adzan berseru, memanggil kaum muslim untuk segera menunaikan salat Ashar.

X : Yuk, kita salat.
Y : (diam)
X : Kamu disuruh salat, malah diam. Ayo ke masjid!
Y : Saya tidak suka kamu menyuruh-nyuruh saya salat. Silahkan saja kamu salat. Apakah kamu menikmati salatmu?
X : (diam)
Y : (diam)
X : (diam)
Y : Urusan salat, biarlah menjadi urusan saya dengan Tuhan saya.

(Semua penafsiran dari ilustrasi tersebut, dikembalikan pada diri anda masing-masing)

Saturday, August 14, 2010

Diluar Yang Biasa

"Aku tak mau dikala aku dimadu...
pulangkan saja kepada orang tuaku...."

Well
, siapa sih yang nggak tahu penggalan lagu itu. Biasanya kita sering denger lagu itu didendangkan oleh para kaum waria di perempatan jalan. Kalau nggak salah inget, lagu itu juga pernah dinyanyiin sama salah satu pemain waria di film komedi Dono-Kasino-Indro, lengkap dengan dandanan ala cewek plus bass berkotak yang gede.

Bukan soal lagu itu yang pengen saya ungkapkan, tapi soal waria dan lain-lainnya yang termasuk kedalam LGBT (lesbian-gay-biseksual-transeksual). Beberapa hari yang lalu, dosen saya dikelas mendatangkan salah satu aktivis yang concern dalam hal LGBT dan HIV AIDS. Bukan pengalaman pertama bagi saya, karena sebelumnya saya juga pernah mengundang pria G dalam acara kampus dan sempat sedikit berbincang-bincang dengan beliau.

Masalah yang dibicarakan aktivis ataupun pria G ini hampir sama, yaitu mengenai penerimaan masyarakat yang masih kurang akan mereka yang dianggap berbeda. Sulit memang merubah mind-set masyarakat yang sudah terkonstruksikan seperti itu, apalagi ditambah dengan hukum adat dan hukum agama yang menempati tempat tertinggi sebagai pedoman manusia untuk bertingkah laku. Bukan saya mencoba mengkritisi hukum adat apalagi hukum agama yang dianggap kurang terbuka atau bagaimana, hanya saja kalau kata dosen saya bilang: ini merupakan hal yang nyata dan ada didepan mata, namun seolah-oleh tidak ada karena ditutup-tutupi. Yah beginilah Indonesia, masih sedikit orang-orang yang mampu memahami mereka yang dianggap berbeda, yah terkadang saya pun sering memberikan stereotip yang negatif kepada mereka, padahal kalau kita cari tahu ternyata banyak sisi positif yang bisa kita gali dan pelajari dari mereka.

Kembali pada pria G, yang sudah coming-out dengan status orientasi seksualnya. Awalnya saya sempat menyayangkan pilihan beliau, karena secara fisik beliau sangat menarik dan ganteng serta memiliki good-personality yang menjadi nilai plus untuknya, dan sekarang beliau pun sedang menempuh S2 di Kanada. Terlepas dari orientasi seksualnya yang menjadi pro-kontra dimasyarakat kita, beliau mampu membuktikan bahwa dirinya adalah representative dari kaum G -atau LGBT lainnya- yang memiliki sisi positif yang patut dibanggakan.

Contoh lainnya, didekat rumah orangtua saya di Cikampek, ada sebuah salon yang semua pekerjanya adalah waria. Mereka murni mencari nafkah dari bekerja disalon tanpa (maaf) menjajakan atau menjual diri.

Ada juga sebuah tayangan di salah satu stasiun TV swasta yang menayangkan tentang pesantren waria, disana mereka belajar mengaji dan belajar agama. Bahkan untuk shalat pun mereka diberikan kebebasan untuk memilih akan mengenakan mukena ala perempuan atau kopiah dan sarung ala laki-laki. Katanya, tujuan didirikannya pesantren waria itu agar mereka bisa lebih mendekatkan diri dengan Tuhan dan menumbuhkan sikap positif dalam diri mereka. Buktinya tidak ada yang 'nakal' diantara mereka.

Yah, sudah saatnya masyarakat membaca situasi yang sebenarnya terjadi dimasyarakat. Bukan soal menghakimi atau menyalahkan bahkan mengasingkan, tetapi merangkul, memahami dan mencintai. Well, saya jadi berniat bikin film dokumenter tentang waria atau LGBT. Yah, semoga saja waktu dan dananya memadai. (^^,)

"I dont care who you are, black or white, girl or boy, woman or man, straight or gay. Coz in front of God, you, me and they are same."

Tentang Sebuah Lagu

Tentang sebuah lagu yang ku dengar disuatu perjalanan pulang. Sebuah lagu yang membawaku kembali ke masa silam. Sebuah lagu yang mengandung bahasa cinta dan mengalun indah dalam jiwa. Sebuah lagu yang kita nyanyikan bersama. Walaupun kita menyadari bahwa alunan bahasa cinta dalam lagu tersebut jauh lebih indah dibandingkan dengan suara kita.

Sebuah lagu yang memaksakan kita untuk bertemu. Sebuah lagu yang sempat membuatku marah padamu karena aku harus bekerja keras mengeluarkan suara dengan nada tinggi dan kau hanya duduk dan tertawa melihat aku tak sanggup menggapai nada tersebut.

Sebuah lagu yang menghasilkan protes dari ibuku karena kita tak menyanyikannya dengan kompak. Dan lagu itu pulalah, yang membuat kau dan aku memarahi seorang bapak yang tak tahu apa-apa karena lagu favorit kita yang lain tidak diizinkan untuk didendangkan.

Sebuah lagu tentang masa indah yang takkan pernah terlupakan. Sebuah lagu yang selalu kau katakan bahwa ini adalah lagu favorit kita. Padahal ingin sekali rasanya aku menghapus semua, tidak hanya lagu itu tetapi juga jejak-jejak dari masa indah itu. Sebuah lagu tentang kehadiran rindu yang selalu menghadirkan tanya untukku dan juga tentang menunggu yang aku tak mau.