Thursday, September 2, 2010

(Mahasiswa) Psikolog(i) Juga Manusia

Menginjak tahun ketiga kuliah, mungkin mahasiswa -nggak cuma saya atau barangkali cuma saya saja- ngerasa berat sama titel yang berkaitan sama perkuliahan yang digeluti. (bener nggak sih?)

Dielu-elukan, dihormati, disanjung, dipuji, dan berekor dengan tuntutan masyarakat mesti begini atau begitu.

X : Tyas, kuliahnya dimana? Sekarang udah semester berapa?
Saya : di Psikologi, sekarang semester 5.
X : Wah hebat, berarti kalau Psikologi mah pasti bisa nyelesein masalah sendiri dong, kan udah tahu elmu-elmunya.

(harusnya seperti itu, tapi.....)

Saya : Eh, gue mau curhat dong. Kemaren kan...
Y : (memotong pembicaraan) Eh iya, gue tuh kemaren bla-bla-bla-bla terus bla-bla-bla-bla makanya gue bla-bla-bla. Menurut lu gue mesti gimana ya?
Saya : Mmm... kamu bla-bla-bla-bla...
Y : Oh gitu, iya juga sih. Thanks ya. (pergi/kembali ke aktivitas semula)

Curhat saya? Hilang melayang terhapus ombak.... :(

Lama-lama bawa predikat mahasiswa Psikologi, kok rasa-rasanya malah jadi susah buat nyari orang yang 'pas' buat dicurhatin kalau lagi gelisah-gundah-gulana, atau emang kenyataannya nggak ada orang yang mau dicurhatin sama saya. hheu.

Nyoba curhat sama orang, eh malah orang itu yang balik curhat. Giliran nemu orang yang mau dengerin curhatan, malah dikomentarin: "Ya ampun, masalah sepele gitu doang dipusingin. Masa anak Psikologi nggak bisa nyelesainnya sih!"

Sehebat apa sih pandangan orang-orang sama mahasiswa Psikologi, sampai-sampai buat curhat saja banyak godaannya karena dianggap sudah bisa nyelesain masalah sendiri. Hei cing, saya itu bukan makhluk sempurna. Saya manusia seperti anda. Walaupun kuliah bawa-bawa titel Psikologi, belum tentu hidup sama lempeng tanpa masalah. Walaupun banyak yang minta curhat sama saya, belum tentu saya nggak butuh yang namanya curhat. Karena ada saat-saat dimana saya juga butuh didengar! huh!

*curhatcolongan*

Tuesday, August 31, 2010

Tumbuh Satu Hilang Seribu

Sejak sepuluh menit yang lalu, dua wanita duduk disalah satu meja di sebuah Resto makanan Western yang tidak jauh dari tempat mereka bekerja. Makanan yang mereka pesan belum juga datang, padahal pengunjung diresto tersebut tidak begitu ramai. Biasanya saat jam makan siang seperti ini, dari warteg pinggir jalan sampai resto kelas atas yang mereka datangi ini pasti penuh dijejali oleh para pegawai yang ingin makan siang.

Sambil menunggu pesanan, salah satu dari mereka, wanita dengan pakaian casual-formal menyalakan laptop HP hitamnya. Ia memencet sebuah tombol untuk menyalakan wireless dan mulai memasuki dunia maya. Facebook menjadi situs pertama yang ia buka selain yahoo mail.

"Eh, gue boleh pinjem facebook lu lagi nggak?" tanya wanita kedua yang mengenakan kemeja merah nan girly.

"Buat apa? Lu mau chatting sama mantan lu lagi?" tanya wanita pertama tanpa mengalihkan pandangan dari laptopnya.

"Nggak, gue nggak akan chatting sama Wisnu kok." menyebutkan nama mantannya. "Ummm.. mau nggak lu add facebook-nya si Panca?" bertanya dengan hati-hati.

"Panca? Siapa Panca?" tanya wanita pertama heran.

"Panca itu temen gue dikantor yang lama. Gue lagi butuh informasi dari dia tentang laporan kantor, soalnya atasan gue yang dulu nanyain laporan itu lagi. Sedangkan semua file-nya udah kehapus gara-gara kompi gue kena virus. Satu-satunya orang yang punya file itu ya Panca. Plis ya add facebooknya...." jelas wanita kedua sedikit memelas.

Pramusaji datang dengan nampan berisi pesanan mereka. Wanita pertama menggeserkan laptopnya untuk memberi ruang pada makanan yang mereka pesan.

"Kenapa harus pake facebook gue sih? Makasih, Mas." tanya wanita pertama seraya mengucapkan terimakasih kepada pramusaji tersebut. "Ohh gue tahu, pasti karena si Daniel kan?"

"Bukan karena Daniel." Wanita kedua membela diri. "Gue cuma nggak mau aja berurusan sama Daniel kalau ngehubungin Panca pakai facebook gue. Apalagi lewat telepon atau sms. Repot deh urusannya."

"Ya ampun. Lama-lama si Daniel kelewatan juga ya sama lu. Kemarin buat minta maaf sama Wisnu gara-gara sikap kasarnya Daniel ke Wisnu, kudu pakai facebook gue. Sekarang mau ngehubungin temen buat urusan kerjaan aja pakai facebook gue juga. Jangan-jangan, besok-besok kalau lu mau ngehubungin bokap nyokap lu, mesti pake facebook gue juga lagi. Gila tuh orang!" ujar wanita pertama penuh emosi.

"Sorry sorry, gue jadi ngerepotin lu. Tapi mau gimana lagi, kalau pakai facebook gue, ujung-ujungnya Daniel bakal marah sama gue, karena disangkanya gue ngobrol macem-macem sama temen-temen cowok gue." wanita kedua menarik nafas sesaat. "Gue jadi nyesel ngasih tahu password facebook gue ke dia." ujar wanita kedua penuh nada penyesalan.

"Pacaran sih pacaran, tapi privacy masing-masing juga dijaga dong." Tidak ada respon dari wanita kedua atas pernyataan wanita pertama. "Ya kalau gue sih, nggak apa-apa lu pakai facebook gue, gue percaya lu kok. Cuma gue kasihan aja ngeliat sahabat gue terkekang gitu sama pacarnya. Emang lu nyaman digituin? Gue sih ogah!"

Tanpa memberikan waktu untuk wanita kedua menjawab, wanita pertama sudah berbicara lagi.

"Ya sudahlah, nggak usah dijawab. Namanya juga cinta. Tai kotok aja bisa berasa coklat. Hahaha.."

Wanita kedua hanya diam sambil menghabiskan makanannya tanpa menanggapi celotehan wanita pertama.

"Waktu lu pacaran sama pacar lu sebelumnya, hubungan lu sama orang-orang lain baik-baik aja. Beda sama sekarang, ketemu si A nggak boleh, nyapa si B nggak boleh juga. Gue sih terserah lu, gimana caranya lu menyikapi hubungan ini selama itu baik buat lu. Tapi inget, ketika lu dapetin seseorang dan seseorang itu akhirnya tumbuh dihati lu, jangan sampai lu kehilangan seribu orang lain yang sayang juga sama lu." jelas wanita pertama dengan rinci sambil menyuapkan satu sendok terakhir dari makan siangnya.

Keduanya terdiam. Sibuk menghabiskan sisa makan siang mereka.

Setelah membayar makan siang mereka, keduanya kembali ke kantor karena waktu istirahat hampir habis. Selama perjalanan kembali ke kantor, tidak ada pembicaraan yang timbul diantara keduanya. Masing-masing sibuk dengan percakapan yang mereka ciptakan sendiri dalam hati mengenai apa yang telah mereka bicarakan saat makan siang tadi.

Tuesday, August 24, 2010

Another True Story

Sore itu, duduk dua anak manusia ditaman tengah kota. Sayup-sayup dari jauh terdengar suara Adzan berseru, memanggil kaum muslim untuk segera menunaikan salat Ashar.

X : Yuk, kita salat.
Y : (diam)
X : Kamu disuruh salat, malah diam. Ayo ke masjid!
Y : Saya tidak suka kamu menyuruh-nyuruh saya salat. Silahkan saja kamu salat. Apakah kamu menikmati salatmu?
X : (diam)
Y : (diam)
X : (diam)
Y : Urusan salat, biarlah menjadi urusan saya dengan Tuhan saya.

(Semua penafsiran dari ilustrasi tersebut, dikembalikan pada diri anda masing-masing)

Saturday, August 14, 2010

Diluar Yang Biasa

"Aku tak mau dikala aku dimadu...
pulangkan saja kepada orang tuaku...."

Well
, siapa sih yang nggak tahu penggalan lagu itu. Biasanya kita sering denger lagu itu didendangkan oleh para kaum waria di perempatan jalan. Kalau nggak salah inget, lagu itu juga pernah dinyanyiin sama salah satu pemain waria di film komedi Dono-Kasino-Indro, lengkap dengan dandanan ala cewek plus bass berkotak yang gede.

Bukan soal lagu itu yang pengen saya ungkapkan, tapi soal waria dan lain-lainnya yang termasuk kedalam LGBT (lesbian-gay-biseksual-transeksual). Beberapa hari yang lalu, dosen saya dikelas mendatangkan salah satu aktivis yang concern dalam hal LGBT dan HIV AIDS. Bukan pengalaman pertama bagi saya, karena sebelumnya saya juga pernah mengundang pria G dalam acara kampus dan sempat sedikit berbincang-bincang dengan beliau.

Masalah yang dibicarakan aktivis ataupun pria G ini hampir sama, yaitu mengenai penerimaan masyarakat yang masih kurang akan mereka yang dianggap berbeda. Sulit memang merubah mind-set masyarakat yang sudah terkonstruksikan seperti itu, apalagi ditambah dengan hukum adat dan hukum agama yang menempati tempat tertinggi sebagai pedoman manusia untuk bertingkah laku. Bukan saya mencoba mengkritisi hukum adat apalagi hukum agama yang dianggap kurang terbuka atau bagaimana, hanya saja kalau kata dosen saya bilang: ini merupakan hal yang nyata dan ada didepan mata, namun seolah-oleh tidak ada karena ditutup-tutupi. Yah beginilah Indonesia, masih sedikit orang-orang yang mampu memahami mereka yang dianggap berbeda, yah terkadang saya pun sering memberikan stereotip yang negatif kepada mereka, padahal kalau kita cari tahu ternyata banyak sisi positif yang bisa kita gali dan pelajari dari mereka.

Kembali pada pria G, yang sudah coming-out dengan status orientasi seksualnya. Awalnya saya sempat menyayangkan pilihan beliau, karena secara fisik beliau sangat menarik dan ganteng serta memiliki good-personality yang menjadi nilai plus untuknya, dan sekarang beliau pun sedang menempuh S2 di Kanada. Terlepas dari orientasi seksualnya yang menjadi pro-kontra dimasyarakat kita, beliau mampu membuktikan bahwa dirinya adalah representative dari kaum G -atau LGBT lainnya- yang memiliki sisi positif yang patut dibanggakan.

Contoh lainnya, didekat rumah orangtua saya di Cikampek, ada sebuah salon yang semua pekerjanya adalah waria. Mereka murni mencari nafkah dari bekerja disalon tanpa (maaf) menjajakan atau menjual diri.

Ada juga sebuah tayangan di salah satu stasiun TV swasta yang menayangkan tentang pesantren waria, disana mereka belajar mengaji dan belajar agama. Bahkan untuk shalat pun mereka diberikan kebebasan untuk memilih akan mengenakan mukena ala perempuan atau kopiah dan sarung ala laki-laki. Katanya, tujuan didirikannya pesantren waria itu agar mereka bisa lebih mendekatkan diri dengan Tuhan dan menumbuhkan sikap positif dalam diri mereka. Buktinya tidak ada yang 'nakal' diantara mereka.

Yah, sudah saatnya masyarakat membaca situasi yang sebenarnya terjadi dimasyarakat. Bukan soal menghakimi atau menyalahkan bahkan mengasingkan, tetapi merangkul, memahami dan mencintai. Well, saya jadi berniat bikin film dokumenter tentang waria atau LGBT. Yah, semoga saja waktu dan dananya memadai. (^^,)

"I dont care who you are, black or white, girl or boy, woman or man, straight or gay. Coz in front of God, you, me and they are same."

Tentang Sebuah Lagu

Tentang sebuah lagu yang ku dengar disuatu perjalanan pulang. Sebuah lagu yang membawaku kembali ke masa silam. Sebuah lagu yang mengandung bahasa cinta dan mengalun indah dalam jiwa. Sebuah lagu yang kita nyanyikan bersama. Walaupun kita menyadari bahwa alunan bahasa cinta dalam lagu tersebut jauh lebih indah dibandingkan dengan suara kita.

Sebuah lagu yang memaksakan kita untuk bertemu. Sebuah lagu yang sempat membuatku marah padamu karena aku harus bekerja keras mengeluarkan suara dengan nada tinggi dan kau hanya duduk dan tertawa melihat aku tak sanggup menggapai nada tersebut.

Sebuah lagu yang menghasilkan protes dari ibuku karena kita tak menyanyikannya dengan kompak. Dan lagu itu pulalah, yang membuat kau dan aku memarahi seorang bapak yang tak tahu apa-apa karena lagu favorit kita yang lain tidak diizinkan untuk didendangkan.

Sebuah lagu tentang masa indah yang takkan pernah terlupakan. Sebuah lagu yang selalu kau katakan bahwa ini adalah lagu favorit kita. Padahal ingin sekali rasanya aku menghapus semua, tidak hanya lagu itu tetapi juga jejak-jejak dari masa indah itu. Sebuah lagu tentang kehadiran rindu yang selalu menghadirkan tanya untukku dan juga tentang menunggu yang aku tak mau.

Tuesday, July 27, 2010

Dewi Kumaratih dan Dewa Kumajaya

Hari ini adalah hari terakhir Ratih menjalani adat 'pingitan' atau 'sengkeran' sebelum melaksanakan pernikahannya dengan Jaya, calon suami yang dulu adalah kakak kelas Ratih di SMA, yang akan dilaksanakan lusa nanti. Dari sebelum subuh, Ibu sudah membangunkan Ratih untuk melaksanakan sahur dan berpuasa untuk melengkapi adat pingitan selama 3 hari belakangan ini.

Sejak dua bulan yang lalu, Bapak dan Ibu membentuk panitia yang terdiri dari kerabat dekat untuk membantu mempersiapkan segala macam persiapan untuk pernikahannya. Mulai dari lamaran, pembicaraan dengan besan dan sesepuh untuk menentukan hari pernikahan, undangan, kebaya sampai menu makanan. Ibu tidak memperbolehkan Ratih ikut repot dalam urusan pernikahan ini, kecuali untuk fitting baju dan tandhakan atau melapor ke KUA yang harus dilakukan oleh Ratih dan Mas Jaya sendiri.

"Tenang saja, Nduk. Kamu hanya cukup melaksanakan pingitan dan tata cara pernikahan saja, jadi ndak usah bantu apa-apa. Biar yang lain yang mengerjakan." Begitu kata Ibu, setiap Ratih menawarkan diri untuk memberikan bantuan.

Seperti sekarang ini, dari dua jam yang lalu Ratih menjalani ritual luluran tubuh dengan ramu-ramuan khas yang dibantu oleh Ibu Ida, rekan Ibu di arisan sekaligus pemilik rias pengantin adat Jawa, yang sengaja didatangkan oleh Ibu kerumah karena Ratih sedang dalam masa pingitan sehingga tidak boleh keluar rumah.

"Halo kanjeng putri..." teriak Byan, sabahat Ratih, yang tiba-tiba datang dan mengagetkan Ratih yang sedang menikmati ritual luluran tersebut. "Gilaaa.. Ini kamar sudah kayak salon saja. Benar-benar kayak putri lu, Tih." Byan kaget melihat kamar tamu yang sudah disulap sedemikian rupa seperti salon oleh Ibunya Ratih. Ibu Ida hanya tersenyum kecil melihat tingkah polah Byan, sambil meminta Ratih mengubah posisi berbaringnya menjadi duduk selonjoran, karena sekarang giliran jari kakinya yang akan dimanjakan oleh Ibu Ida.

"Sini.. sini.." Ratih mengajak Byan duduk disampingnya.

"Eh, kenapa sih akad nikah sama resepsi lu mesti hari Rabu? Gue kan mesti ke Surabaya, ngurusin gawean gue. Ya mudah-mudahan saja pas resepsi gue udah balik ke Jakarta." Jelas Byan.

"Yah jangan gitu dong, By. Masa pas akad nikah aku, kamu nggak ada. Terus resepsi juga terancam nggak datang." Sahut Ratih bete.

"Habisnya tanggal nikahan lu bentrok sama jadwal kerjaan gue, sih. Ya mudah-mudahan saja gue dapat pesawat pagi, biar bisa datang ke resepsi lu."

Ratih tersenyum mendengar jawaban Byan. Kalau saja ia boleh memilih kapan waktu pernikahannya, pasti Byan akan menemaninya melewati moment paling berharga dalam hidupnya. Bapak dan Ibu serta orang tua Mas Jaya beserta sesepuh yang mengerti mengenai perhitungan tanggal Jawa sudah menentukan hari baik untuk pernikahannya berdasarkan weton atau hari lahir Ratih dan Mas Jaya. Dalam masalah penanggalan, baik Bapak atau Ibu maupun orang tua Mas Jaya yang sama-sama keturunan Jawa, tidak mau asal-asalan mencari tanggal karena ini demi kebaikan masa depan pernikahan putra-putri mereka.

"Tadi gue liat didepan, nyokap lu sibuk banget, ya? Ngurusin ini lah, ngurusin itu lah. Lu juga sama, mau-maunya ngejalanin tata cara yang ribet banget, pake acara pingitan segala lagi." protes Byan sambil menikmati jenang, makanan manis dari ketan hitam. "Hebat juga lu, tiga hari nggak ketemu sama Mas Jaya-Mu. Kalau gue sih, ogah banget ngejalanin kayak ginian."

"Nikahan ala Jawa itu memang njelimet, By. Tapi itu seninya." jawab Ratih. "Dari kecil, aku memang kepengen banget nikah dengan adat Jawa. Waktu Mas Jaya ngobrol dengan Bapak perihal niatnya untuk melamar aku, Ibu jatuh hati dan langsung kepengan jadiin Mas Jaya sebagai mantunya. Apalagi pas tahu kalau Mas Jaya juga sama-sama keturunan Jawa." Ibu Ida memohon ijin ke belakang untuk mempersiapkan ramuan luluran lainnya. Ratih sejenak membenarkan kemben batik yang mulai longgar menutupi tubuhnya.

"Waktu menikahkan Mas Bara kan, ibu tidak bisa melaksanakan impiannya untuk menikahkan anaknya dengan adat Jawa. Makanya di pernikahan ini, Ibu sangat senang dan bersemangat sekali, karena impiannya sebentar lagi akan terkabulkan."

Ratih ingat, Ibu sedikit kecewa ketika Mas Bara -kakaknya- menikah. Bukan karena tidak setuju dengan Mbak Rina -istrinya-, tetapi karena pada saat itu pernikahan tidak menggunakan adat Jawa, tetapi adat Palembang sesuai dengan keinginan keluarga besar Mbak Rina. Tetapi kekecewaan Ibu kini terobati. Sebentar lagi, perayaan adat Jawa yang terbilang mewah akan diselenggarakan. Pernikahan ini sengaja dilaksanakan secara besar-besaran, karena menjadi pengalaman pertama bagi keluarga Mas Jaya. Sedangkan untuk keluarga Ratih, ini adalah pernikahan penutupan karena Ratih adalah anak bungsu.

Tidak ada lelah yang terlihat di wajah Ibu, kecuali senyuman yang mengembang dengan ringan dibibirnya. Berulang kali, Ibu mengingatkan Ratih karena besok akan diadakan Siraman dan Midodareni, malam melepas masa lajang.

Ibu begitu sibuk dengan ritual dan kegiatan berkaitan dengan tata cara pernikahan Jawa. Untungnya Ibu tidak seperti Bu'de Endang, sahabat Ibu, yang sangat berlebihan mempercayai mitos dan pantangan dalam pernikahan Jawa. Misalnya tentang tidak diperkenankannya anak pertama dan anak ketiga untuk menikah, karena akan membentuk angka 13 yang dianggap sebagai angka sial seperti kepercayaan Orang Eropa. Pernah tahun lalu, ketika menikahkan anak bungsunya, Bu'de Endang percaya bahwa Naga Dina (naga harian) ada di selatan, sehingga ketika akan menuju rumah mempelai perempuan kita tidak boleh lewat arah utara agar terhindar dari mulut sang naga yang selalu menganga. Terpaksa saya, Ibu beserta keluarga besar Bu'de Endang harus melalui arah timur dan berjalan melewati gang sempit serta pemukiman warga yang tidak bisa dilalui mobil, demi tidak melanggar pantangan pernikahan tersebut.

Besoknya, Ibu me-recheck ubarampe atau perlengkapan untuk siraman yang akan dilaksanakan sebentar lagi. Mbak Sinta, sepupu Ratih, memberikan laporan kepada Ibu bahwa dodol dawet sudah siap.

Setelah melalui prosesi siraman yang begitu sakral dan mengharukan. Dilanjutkan dengan adat menjual dawet. Ibu yang menjadi penjualnya dan Bapak yang memayungi Ibu sambil berkeliling mencari para tamu yang menjadi pembelinya dengan menukarkan kreweng atau uang pecahan genting. Dari jauh, Ratih tersenyum melihat Ibu dan Bapak. Ibu percaya bahwa ritual ini diharapkan agar nanti saat Upacara Panggih dan resepsi banyak tamu dan rezeki yang datang.

Pada malam harinya, Mas Jaya dan keluarga besar mendatangi kediaman Ratih untuk melaksanakan midodareni. Setelah tiga hari tidak bertemu Mas Jaya, Ratih begitu pangling melihat Mas Jaya yang menurutnya semakin ganteng. Begitu juga, dengan Ratih seperti widodareni atau bidadari dimata Jaya. Dalam dunia pewayangan, kecantikan dan ketampanan calon pengantin diibaratkan Dewi Kumaratih dan Dewa Kumajaya.

Selesai melaksanakan Midodareni, Ratih segera menuju kamarnya untuk mengistirahatkan badannya agar tampil fresh esok hari. Tahap demi tahap tata cara adat Jawa telah Ratih laksanakan, tinggal menunggu tahap puncak esok harinya, yaitu akad nikah dan Upacara Panggih yang terdiri dari berbagai ritual lainnya, seperti liron kembang mayang atau menukar kembang mayang, gantal atau melempar sirih, ngidak endhog atau menginjak telur sebagai simbol seksual pecahnya pamor kedua mempelai dan simbol tanggung jawab seorang suami serta kesetiaan seorang istri, sindur atau berjalan menuju pelaminan sambil diiringi alunan gending, dulangan atau saling menyuapi sampai sungkeman.

Ibu mengetuk pintu kamar Ratih. Setelah dipersilahkan masuk, Ibu menghampiri Ratih yang sedang berbaring ditempat tidurnya.

"Nduk, Ibu sangat bahagia sekali." Sahut Ibu sambil duduk disebelah Ratih. Ratih menjatuhkan kepalanya dipangkuan Ibu. "Kewajiban Ibu dan Bapak sebagai orang tua hampir selesai. Jaya memiliki bibit, bebet dan bobot yang baik dimata Ibu dan Bapak." Ibu menghela napas sejenak sambil terus mengusapi rambut Ratih. "Ibu juga senang, karena impian Ibu untuk menikahkan kamu dengan adat Jawa sudah terkabulkan. Walaupun njelimet, tapi Ibu ndak capek. Karena dibalik ritual-ritual itu ada harapan-harapan yang baik untuk pernikahan kalian. Kamu bukan anak bau kencur lagi, Nduk. Saiki wis pecah pamore (sekarang sudah pecah pamornya)."

Ibu menutup pembicaraan dengan mengecup kening Ratih sambil meneteskan air mata. Begitu juga Ratih yang ikut terharu mendengar pernyataan Ibu. Ia memandangi kebaya modern berwarna putih yang menggantung dikamarnya yang akan dikenakan besok diacara akad nikah. Ia memejamkan mata sambil membayangkan betapa cantiknya ia mengenakan kebaya tersebut dan duduk bersanding dengan Mas Jaya di pelaminan nanti.

Friday, July 23, 2010

Just A Silly Question

Apa semua otak perempuan itu berukuran seperlima dari hatinya sehingga logika nyaris nggak ada, yang ada hanya perasaan terus?

.......
.......

Tuesday, July 20, 2010

Obrolan Es Kelapa Muda

Dengan tisu, saya menyeka peluh yang menempel di dahi. Sambil melepas jaket, saya mengutuki udara Bandung yang panas di siang hari itu. Saya berjalan mendekati kios Es Kelapa Muda, membayar rasa haus yang tertahankan sejak saya tiba di Bandung.

"Kang, meser es kelapa na hiji." Ujar saya pada Si Mang Es dengan Bahasa Sunda yang 'lumayan' untuk ukuran pendatang seperti saya. Sambil menunggu es buatan Si Mang, saya duduk di kursi kayu yang sudah disediakan sambil melihat-lihat lingkungan sekitar.

Walaupun jarak antara Bandung dan Jakarta lumayan dekat karena dipermudah dengan adanya tol Cipularang, tapi baru kali ini saya mengunjungi Bandung lagi, sekalian untuk urusan kerjaan juga. Terakhir saya datang ke Bandung sekitar 10 tahun yang lalu ketika Nenek saya masih hidup dan tinggal di Bandung. Setelah itu, saya tidak pernah lagi ke Bandung karena rumah Nenek saya sudah dijual sehingga tidak ada tempat untuk menginap, ditambah lagi dengan kesibukan pekerjaan saya.

"Nuhun, Kang." Ucap saya ke Mang Es yang mengantarkan es pesanan saya. Dengan segera saya menyeruput es kelapa tersebut. "Bandung sekarang berubah ya, Kang." Saya membuka pembicaraan. Di kios itu hanya ada saya dan Si Mang Es yang sibuk memainkan handphone sejenis Blackberry ditangannya.

"Ya iya atuh, Neng." Jawab Si Mang Es tanpa mengalihkan pandangan dari handphonenya.

Melihat kesibukan Si Mang Es, saya jadi ragu meneruskan pembicaraan. Mungkin dia sedang sibuk ber-sms-an dengan pacarnya atau ber-facebook ria.

"Sekarang mah Bandung teh rame pisan. Kayak Jakarta weh, kota met...tropo...lit...tan." Ujar Si Mang Es sambil terbata-bata mengucapkan kata 'metropolitan'. Handphonenya sudah ia masukkan ke saku celana jeansnya.

"Iya, Kang. Panasnya sih, hampir sama kayak Jakarta." Saya jadi ingat setiap saya mau liburan ke rumah Nenek di Bandung, saya dan kakak saya pasti sibuk mempersiapkan jaket dan sweater. Tidak ada yang berani mandi pagi. Kalau keluar disiang hari pun selalu menggunakan jaket atau sweater. Dan setiap malamnya, nenek selalu menyediakan semangkuk sekoteng yang dicampur air jahe dan kacang goreng untuk menghangatkan badan kami. Eh, saya jadi ingat penjual sekoteng yang suka mangkal nggak jauh dari kios es ini.

"Kang, kalau penjual sekoteng yang diseberang jalan sana masih jualan?" tanya saya.

"Tukang sekoteng?" Si Mang Es malah balik nanya dengan heran. "Ahh itu mah udah bangkrut, Neng. Si Neng mah ada-ada saja, ngapain atuh jaman sekarang nanyain sekoteng. Kiosnya juga udah dibeli terus dijadiin kape. Tuh liat..." Jawab Si Mang Es sambil menunjuk sebuah Cafe kopi diseberang jalan sana. Mobil mewah berjejer di parkiran, banyak muda-mudi yang duduk santai sambil ngobrol, merokok dan makan siang, sekedar untuk mengenyangkan perut atau menaikkan gengsi.

"Katanya Neng, disana juga mau dibangun mol." Si Mang Es menunjuk bangunan tertutup seng yang berjarak sekitar 100 meter dari cafe kopi tersebut.

"Di bangun Mall? Bakal macet, dong. Jalannya kan kecil. Kalau nggak salah, jalan itu cuma buat pejalan kaki aja deh."

"Yang jalan kakinya juga jarang atuh, Neng. Sekarang mah mobil juga boleh lewat situ. Didepan jalan sini juga ya, Neng," sambil menunjuk jalan raya didepan kiosnya. "Kalau malam sering macet. Sampai subuh juga masih rame, kan anak muda sekarang mah gaul-gaul suka ajep-ajep gitu deh." Si Mang Es menarik napas sebentar. "Kalau malam juga suka ada yang beli es kesini. Meuni pada seksi-seksi terus gareulis, tapi sok rada-rada bau minuman gitu. Ahh da saya mah senang-senang saja, nu penting mah jualan saya laku, terus saya juga bisa lihat paha gratisan. Hahaha..." Si Mang Es tertawa puas.

"Lumayan lah, daripada barudak leutik nu suka nge-lem, sok minta es tapi tara mayar." Si Mang Es menambahkan.

Benar kata Si Mang Es, di terminal Leuwi Panjang tadi saya juga melihat dua orang anak yang berumur sekitar 8 tahun, lagi mojok sambil menghisap lem aibon.

Kemudian, Si Mang Es melanjutkan pembicaraan tentang perubahan Kota Bandung yang tidak saya ketahui. Cukup lama kami terlibat pembicaraan tersebut.

Setelah menghabiskan sisa es kelapa yang masih ada digelas, saya kemudian memberi satu lembar lima ribuan ke Mang Es dan permisi pergi.

Sambil berjalan meninggalkan kios es tersebut, saya memikirkan obrolan dengan Si Mang Es tadi. Tentang Bandung yang telah berubah, tentang udara dingin yang memanas, tentang macet yang menjadi gaya hidup, tentang cafe dan mall yang menjadi aksesoris kota, tentang pesta malam yang menjadi rutinitas, tentang sekoteng yang sudah bangkrut, tentang paha yang di umbar-umbar, tentang lem aibon yang menjadi kebutuhan primer, tentang binatang yang menjadi sapaan akrab, tentang polusi yang bebas mengudara, tentang bangunan tua yang rata dengan tanah, tentang....

Ahh, rasa-rasanya niatan untuk bernostalgia dengan Bandung mulai menghilang, gumam saya dalam hati sambil mempercepat langkah menuju tempat yang saya tuju, agar saya dapat menyelesaikan pekerjaan dengan cepat dan kembali ke ibu kota.

(Catatan ringan di sela kerinduan akan semangkuk sekoteng dan Bandung tempoe doeloe)

Thursday, July 15, 2010

Huh !

Sepulang kuliah, buru-buru saya menyabet Nokia 7610 yang tersimpan disamping laptop -yang tertinggal saat akan pergi kuliah tadi pagi-. 6 pesan dan 1 missed call tertera dalam layar hape tersebut. Salah satu pesan berasal dari seorang teman. Isi pesannya singkat. Hanya meminta saya untuk meneleponnya. Saya tidak langsung balas menelepon sesuai permintaannya, karena perintahnya itu sudah dari 4 jam yang lalu.

Saya menekan tulisan 'reply' dan membalas sms-nya dengan memberi alasan atas keterlambatan merespon sms-nya dan tak lupa untuk menanyakan apa maksud dia -teman saya- meminta saya meneleponnya. Lima menit kemudian, sms balasan masuk lagi ke hape saya. Menjelaskan to the point pertanyaan saya. Dia bilang, minta ditelepon setelah magrib.

Sekitar setengah 7, dia mengirim sms lagi mengingatkan saya untuk meneleponnya. Kemudian saya menekan 'calling' dan menunggu jawaban.

Of course, ada pembukaan -tidak hanya dalam pidato- dalam percakapan telepon kami. Hanya menanyakan kabar dan segala tetek bengek pembukaan yang biasa dalam telepon.

Setelah diam beberapa saat, dia membuka pembicaraan. Mula ber-bla bla bla menceritakan apa yang ingin dia ceritakan. Cukup lama dia berbicara dan cukup lama pula saya diam dan mendengarkan. Diakhir ceritanya, dia menyelipkan kalimat: 'jadi saya harus bagaimana?'

Ups. Kenapa tanya sama saya? Lha wong dia yang punya masalah, dia yang ngelakonin, kok saya yang kebagian ngasih keputusan harus bagaimana?

...

Saya jawab: 'Gampang. Tinggal lempar terus lupain. Beres, kan?'

...

But no. Jawaban itu hanya dalam fantasi Id saya. Dalam dunia nyata, sang polisi moral dan ego saya berkolaborasi berkata: 'Jangan gegabah dulu, pikirkan dengan tenang. Salah-salah ngambil keputusan nanti nyesel ke depannya.'

Shit! Kenapa kalimat itu yang keluar dari mulut saya? Itu bukan yang saya inginkan, actually.

Lho lho lho, kok kenapa sekarang saya yang jadi repot mengutuki jawaban saya barusan? Ah andai saja dia tidak mengirim sms itu. Andai saya tak membalas sms-nya. Andai saya tidak menelepon dia. Andai....

HUH !!

Wednesday, July 14, 2010

(Bukan) Panggung Sandiwara

Beberapa hari yang lalu, seorang teman membuka ingatan saya pada satu cerita lama yang sangat, ya sangat menyebalkan dan menyakitkan. Jujur, saya agak kurang tertarik ketika dia -teman saya- memulai percakapan tentang cerita lama itu. Tapi nggak mungkin kan kalau saya pasang tampang bete didepan dia, akhirnya saya mencoba mendengarkan apa maksud pembicaraannya.

Sebelum dia meneruskan ceritanya, saya sudah menebak kemana arah pembicaraan kami. Dan benar saja, tebakan saya tepat sekali. Dia mencoba mengajak saya untuk menjawab 'Iya' dan kembali menjadi lakon disuatu panggung dan memainkan peran yang berkaitan dengan cerita lama tersebut.

Ah saya kan bukan pemain drama yang handal apalagi aktris papan atas yang terkenal. Tapi kenapa untuk kedua kalinya, saya terus diajak berperan di panggung yang sudah saya blacklist sebagai kegiatan yang tidak ingin saya lakukan lagi.

Dengan rasionalisasi keadaan panggung yang sekarat dan lakon-lakon muda yang dikhawatirkan tidak mampu mempertahankan panggung tersebut, dia tetap mengajak saya untuk bermain kembali, dengan harapan dapat membangkitkan kembali panggung tersebut. Setelah berbicara panjang lebar, dia kemudian pergi tanpa perlu saya menjawab ajakannya. Tentu saja, saya pun tidak akan langsung memberinya jawaban walaupun dia meminta, toh jawaban saya sekarang masih tetap sama dengan jawaban saya terdahulu, dan feeling saya mengatakan bahwa rekan-rekan yang senasib dengan saya pun memiliki jawaban yang sama jika diajak kembali melakon dipanggung tersebut. Tentu tidak mudah mengiyakan, karena -secara kasar- ini menyangkut harga diri.

Sebenarnya, bukan lakon-lakon muda atau panggungnya sendiri yang membuat saya tidak mau bergabung lagi, tetapi karena sutradara handal yang menguasai panggung tersebut. Yeah, ini hanya sudut pandang dan prasangka saya saja.

Sejak awal perjalanan panggung ini, saya sudah mencium ketidakenakan terhadap beliau, ditambah lagi dengan desas-desus track-record beliau yang sangat 'manis'. Dan kemudian saya pun bertemu beliau dalan suatu perayaan yang mengakibatkan kami bersitegang. Dengan segala kekesalan dan sakit hati yang membuncah dalam hati terhadap beliau -yang telah menyakiti hati saya dan rekan-rekan saya-, saya membeberkan kejahatan sang sutradara dan antek-anteknya tersebut. Walaupun mengakibatkan cibiran atau cap jelak sebagai junior-yang-tidak-tahu-sopan-santun. Terserah. Diasingkan pun saya tidak peduli. Seperti kutipan syair Gie: 'lebih baik diasingkan daripada menyerah pada kemunafikan.'

Ya, karena yang saya pedulikan adalah bagaimana caranya agar semua audiens mengetahui topeng asli dari sang sutradara. Karena semua itu semata-mata saya lakukan demi membuktikan seberapa 'sehat'nya panggung kita. Mungkin banyak yang menganggap saya sebagai pahlawan kesiangan, tetapi apakah kita harus tetap diam jika melihat ketidaksehatan didepan mata kita?

Biarlah masyarakat yang menilai. Kalimat itu yang selalu saya gumamkan setiap tak sengaja mendengar atau mendengar secara langsung dari orang-orang yang menanyakan perihal ini.

Biarkan juga waktu yang akan menjawabnya. Toh, sekarang para pecinta panggung mulai merasakan detak jantung panggung yang mulai melemah. Apalagi sepeninggal sutradara dari dunia per-panggung-an yang menyisakan warisan sebuah-maha-karya-kesemrawutan-panggung yang seolah-olah menjadi pekerjaan rumah yang harus diselesaikan oleh kami semua, termasuk saya dan rekan-rekan saya. Beuhh, permainan macam apa ini!

Tuesday, July 13, 2010

Susahnya Jadi Emak...

Bagaimana rasanya menjadi seorang baby sitter selama seminggu? Bagaimana rasanya mengurus dua ABG labil yang sangat meng'gemas'kan?

Mau tahu rasanya? Saya sudah merasakannya, dan komentar saya: SUSAH !!!

Selama satu minggu kemaren, dua adik manis saya -Dhiya (13 tahun) dan Gifar (10 tahun)- turut serta ke Bandung untuk liburan, setelah dua minggu sebelumnya saya liburan di rumah orangtua saya di Cikampek. Ini bukan kali pertama dua ranger cilik tersebut liburan di Bandung tanpa Ayah dan Ibu saya, karena mereka pernah melakukannya pada beberapa tahun yang lalu. Bedanya, waktu mereka masih kecil mungil, mereka masih gampang diatur, sedangkan sekarang ngurus mereka itu susahnya minta ampun.

Idealnya, anak seumuran mereka sudah mandiri dan bisa melakukan hal apapun tanpa bantuan orang lain. Entah karena perkembangan kemandiriannya yang belum sempurna atau karena pola asuh orangtua saya yang terlalu memanjakan, keduanya masih harus diladeni ini-itu, mulai dari sarapan, baju, sampai mesti ditemenin pas ke kamar mandi. Apalagi kalau mereka pada ribut-ribut ala Tom and Jerry. Yang satu gampang nangis, yang satunya lagi keras kepala dan nggak mau ngalah. Ini yang bikin saya jengkel dan ngomel-ngomel ala ibu-ibu. Bahkan sepupu saya sampai ngeledekin karena saking hebatnya saya menghayati peran sebagai emak-emak.

Sebagai seorang Mbak yang baik, tentu saya harus men'service' adik-adik saya dengan memuaskan, salah satunya adalah mencuci. Saya nggak kaget lagi dengan tugas nyuci, toh itu sudah menjadi pekerjaan rutin bagi saya. Yang bikin kaget adalah volume cucian adik-adik saya selama 3 hari yang sama dengan volume cucian saya selama seminggu. Kebayang kan, repotnya. Ditambah bonus cucian ngompol Gifar, yang nggak mungkin langsung saya satuin sama cucian lain di mesin cuci. Alhasil, saya mesti bekerja keras menghilangkan bau ngompolnya terlebih dahulu, sambil bergumam didalam hati 'sabar, sabar... ini latihan buat jadi ibu...'

Seminggu ini memang bisa diibaratkan sebagai Praktek Kerja Lapangan menjadi seorang ibu. Setiap saya mau pergi ke kampus atau ada urusan lain diluar rumah, saya harus meninggalkan uang jajan dan memastikan bahwa mereka berdua sudah sarapan. SMS terus masuk ke handphone yang menanyakan saya ada dimana dan kapan saya pulang, kalau saya belum pulang kerumah.

Dari sini saya jadi tahu, kenapa Ibu saya bisa sebegitu cerewet dan bawelnya saat mengurus anak-anaknya. Dan saat Ibu saya menelpon dan menanyakan bagaimana rasanya mengurusi mereka, saya berteriak 'susah ya, jadi emaaakkk !!!' yang dibalas dengan tawa renyah oleh Ibu saya.

Monday, June 21, 2010

Lelaki Kelima

Dalam catatan hidup, saya mengenal 4 lelaki yang saya kagumi dan hormati. Sejak pertama bertemu, berkenalan dengannya dan sampai sekarang pun mereka tetap memberikan kesan yang menarik dihati saya.

Lelaki pertama adalah sosok lelaki Jawa lengkap dengan unsur Jawa yang melekat dinamanya, bahkan ia pun turut menyumbangkan unsur Jawa dalam nama saya. Saya lebih mengenalnya sebagai lelaki sentimental, ya mungkin sikap sentimental yang kerap saya keluarkan merupakan hasil imitasi saya terhadapnya. Saya mencintai kebiasaannya duduk santai dihalaman rumah pada waktu pada waktu sore sambil meluruskan kakinya atau sekedar memandangi saya dan saudara saya bermain bulu tangkis.

Cangkir besar berisi teh manis yang selalu disediakan istrinya dipagi hari, sering saya perhatikan dan berharap bisa diam-diam mencicipinya ketika ia sedang lengah. Sekalipun ada kesempatan untuk 'menyeruput' teh manisnya, nyatanya saya tak pernah berani melakukannya. Tatapan matanya yang tajam yang sering menyulitkan saya untuk mengartikan apakah sedang marah atau tidak, sering menatap saya. Walaupun begitu, saya adalah satu-satunya wanita yang tidak pernah mendapat jeweran ketika saya berbuat nakal.

Lelaki kedua yang saya kenal tak lebih dari 3 tahun ini, adalah prajurit angkatan bersenjata di jaman pemerintahan Soeharto. Tangannya yang berotot, dadanya yang bidang dan perutnya yang rata berubah membuncit ketika usianya telah senja. Dari piagam penghargaan dan sertifikat yang saya baca, ia memang termasuk prajurit terbaik, tidak hanya untuk negara namun juga untuk saya.

Setiap bulan, ia tidak pernah absen memberi saya uang sebesar 500 rupiah yang ia sisihkan dari dana pensiunnya. Sejak itu pula, saya sering menitipkannya ke ibu saya untuk dibelikan baju atau sepatu. Pernah suatu ketika, ia salah memberi saya uang, bukan 500 rupiah tapi malah 5000 rupiah. Ketika diingatkan oleh ibu saya, ia menyanggahnya dan mengakui bahwa memang ia ingin memberikan 5000 rupiah untuk saya. Ternyata itu adalah uang pemberiannya yang terakhir, karena di tahun ketiga saya mengenalnya, ia tutup usia karena bronkhitis yang diidapnya. Andai ketika itu saya mengerti keadaannya, saya akan memijit punggungnya yang setidaknya dapat mengurangi rasa sakitnya, sehingga saya dapat mengenalnya lebih lama.

Lelaki ketiga ini adalah lelaki pertama yang saya lihat ketika saya lahir ke dunia, selain dokter yang membantu persalinan ibu saya. Dialah yang pertama mengumandangkan adzan ditelinga saya, dan sejak itulah saya jatuh cinta padanya. Bahkan selama 40 hari usia saya, saya sering berteriak dan menangis dan baru berhenti ketika ia menggendong saya. Ahh saya memang senang bermanja-manja dengannya. Tapi tidak kalau ia sedang marah, jangankan untuk bermanja-manja, bertanya pun saya tidak berani. Berbeda halnya ketika kulitnya sudah menghitam gara-gara hobi mancingnya yang sering ia lakukan setiap minggu, saya berani memprotes dan menggerutu padanya. Kadang, saya harus berlomba-lomba mencuri perhatiannya dengan dua wanita lain yang ia sayangi selain saya.

Tidak seperti dulu, sekarang saya tidak berani pergi berdua dengannya, karena saya sudah besar dan sedikit takut dengan anggapan anak gadis pergi bersama om-nakal-berkumis. Nyatanya sekarang, ketika sudah tidak tinggal bersama, saya kadang merindukan hadiah triple combo yang sering ia berikan di pipi kiri, pipi kanan dan kening saya.

Lelaki terakhir adalah lelaki paling muda diantara 3 lelaki sebelumnya. Sering saya berantem dengan lelaki aquarius ini. Badannya yang besar sering membuat saya kalah melawannya, tapi walaupun begitu ia lebih penakut dibandingkan saya. Namanya yang diambil dari nama sahabat Nabi yang berhati dermawan, memang tercermin dalam sikapnya sehari-hari. Pernah ia memarahi saya karena saya hanya memberikan uang 200 rupiah ke pengamen, katanya 'terlalu sedikit'. Si bungsu ini juga sering bertanya-tanya tentang lelaki lain yang datang kerumah dan mengajak saya pergi, mungkin ia cemburu atau ingin melindungi saya saja. Tapi ternyata, saya juga cemburu ketika ia menceritakan tentang wanita lain yang menarik perhatiannya disekolah.

*Untuk para lelaki: Mbah, Bapak, Papa, Dede dan Lelaki Kelima

Tuesday, June 15, 2010

Other Side

There's a danger in loving somebody too much

And it's sad when you know that your heart he can't touch


And there's no way home, when it's late at night and you are alone...

Di Balik Frame Kamera (4)

Finally, semua testimoni sudah terkumpul. Perburuan yang memakan waktu nggak lebih dari 2 minggu akhirnya terbayarkan setengahnya, karena setengah lagi untuk proses editing yang nggak kalah menguras tenaga.

Akhir perburuan ini dimulai dari ngambil gambar chaos suasana Gasibu dari Monumen Perjuangan dipagi buta. Dan masih dihari itu juga, Tuhan memudahkan kita dalam pencarian orang-orang, buktinya sekitar 3 jam kita bisa dapetin 30 orang. Padahal kalau dibandingin hari-hari sebelumnya, 10 orang dalam satu hari aja udah beruntung banget. Mungkin juga gara-gara partner saya yang lagi ngelindur pake sendal beda antara kaki kiri dan kanan.

Surprise lainnya, kita berhasil dapet testimoni dari dua bule asal Amrik yang caem-caem, Rob dan Peter. Dengan modal inggris yang pas-pasan kita coba tanya-tanya mereka. Entah karena kegantengan si Peter yang mengganggu konsentrasi saya, saya jadi nggak mudeng dengan apa yang mereka omongin. Pelafalan kata 'tourism' aja, malah jadi 'TURISEM' [hhe]. Ya untungnya, teman saya masih ngerti bahasa bule tersebut. Tapi sayangnya, saya nggak sempet minta nomor kontak si-bule-ganteng-Peter, padahal kan lumayan buat memperluas jaringan.

Angka 200 tergenapi setelah hampir semua kalangan yang kita harapkan bisa kita dapetin, walaupun ada beberapa kalangan atas yang sulit terjangkau jadi nggak bisa nampang di dokumenter ini.

Terimakasih banyak untuk bapak, ibu, abah, emak, om, tante, teteh, aa, mas, mbak yang sudah berpartisipasi dalam dokumenter ini. Pengennya sih ngasih honda jazz satu-satu ke setiap orang yang ngasih testimoni, tapi apa daya dompet tak sampai. Saya sih paling bisa bales pake doa aja, mudah-mudahan yang lagi punya urusan dipermudah urusannya, yang lagi nyari jodoh semoga cepet dapet jodoh, yang mau cerai semoga jangan cerai, yang mau punya anak semoga dikasi banyak anak, yang mau SPMB semoga bisa masuk PT yang diinginkan, yang tertarik dan berminat dengan salah satu diantara kita semoga bisa cepet ngontak kita. [promosi]

Wish us luck ^^,

Thursday, June 10, 2010

Nasehat Teman

Psychology could poisoning your mindset inside, but dont think that everything's true.
Just like a stone on the river, never flowing with a current, nor dont againts that neither.

*Nasehat seorang teman yang menyentil saya karena keseringan curigaan sama orang. Thanks Sob... (^^,)

Tuesday, June 8, 2010

Biarkan Bintang Menari

Kau inginkanku menjadi seperti sang pangeranmu yang terciptakan dari dalam hatimu sejak dulu, yang kau impikan selamanya.

Kau inginkanku menjadi dewasa, karena dunia takkan menunggu hati yang bermimpi tentang dongeng kasih seorang putri dan cintanya.

Kini, mengertilah permintaan hatiku. Agar cinta dapat kembali disini. Mengertilah bahwa ku pun inginkan cinta kembali kini.

Jangan lupakan dirimu yang dulu. Ku takkan pernah lupa senyummu dengan semua kenangan kita dulu. Kuharap kini dapat kembali.

(dipopulerkan oleh Ariyo Wahab dan Dea Mirela)

Friday, June 4, 2010

Di Balik Frame Kamera (3)

Setelah rehat satu hari untuk beristirahat dan menyelesaikan tugas akhir kuliah yang belum terselesaikan, proyekan dokumenter berlanjut lagi. Setelah dijumlah-jambleh, total testimoni yang telah didapat selama 3 hari ini adalah 107. Lumayan lah, terbayarkan kerja keras selama ini.

Pagi harinya, sebelum ketemu sama partner saya ditempat yang sudah dijanjikan, saya sengaja jalan-jalan dulu disekitar Taman Pramuka dan Riau. Mungkin karena lagi beruntung, selain hunting gambar, saya juga dapet 7-orang-baik-hati yang rela saya tanya-tanya. Untungnya lagi, mereka ramah-ramah dan cooperatif. Padahal nggak dapet reward apa-apa selain senyum manis dari saya. Hehe...

Sebenarnya, mood semalam rada-rada kurang baik. Tapi untungnya (lagi-dan-lagi), karena saking kesenengan dapetin 7 testimoni kurang dari setengah jam itulah yang membuat mood membaik.

Setelah mengambil sudut-sudut Jl.Riau yang gudangnya FO, kita berlanjut ke daerah sekitar Dago buat ngambil gambar-gambar Bandung dari tempat tinggi. Sepulang dari sana, iseng-iseng kita berhenti di satu Galeri Seni yang baru buka disekitar Dago, karena menurut partner saya, kayaknya si empunya galeri bisa diajak kerjasama. Awalnya saya ragu, tapi setelah ngobrol-ngobrol, si mas-pemiliki-galeri-yang-ternyata-masih-mahasiswa ini, baik dan ramah banget. Sampai kita tukeran nomor telepon dan FB. Sekali dayung dua tiga pulai terlampaui, testimoni buat dokumenter dapet, kenalan juga dapet. Ya lumayan juga dapet kenalan pengusaha muda, yang mungkin suatu saat nanti bisa diajak kerjasama lagi. Hehe..

Perburuan pun berlanjut ke Taman Ganesa. Mulai dari mahasiswa ITB, ibu dan anaknya, pegawai Salman ITB, anak SMA sampai pengamen kita dapetin dari sana. Selain testimoni, kita juga dapet surprise dari pengamen yang ada disana. Double COMBO !!!

Setelah jumatan dan makan siang, niatnya pengen lanjut hunting ke Cihampelas dan Pasupati, tapi karena hujan, alhasil terdamparlah kita di Ciwalk. Untungnya karena hujannya sayang sama kita, jadi turunnya nggak lama-lama. Dan berlanjutlah perburuan disekitar Cihampelas. Pengennya sih nemu bule, tapi karena bule-nya nggak ada dan Cihampelasnya juga nggak terlalu rame jadi kita nggak dapetin apa-apa.

Buat saya, dari hari pertama sampai hari ketiga ini, selalu aja ada hadiah plus-plusnya. Kali ini, saya baru tahu kalau dibalik megahnya bangunan mentereng Ciwalk ada satu daerah pemukiman warga dan sebuah kolam renang bangkrut yang dijadiin tempat rekreasi buat warga-warga sekitar. Katanya, kolam renang itu dulunya kolam renang Cihampelas yang suka dipakai buat olahraga anak-anak SMA, tapi karena bangkrut jadinya kolam renang itu ditutup.

Duh, kalau lihat kolam renangnya nggak banget deh. Airnya sih bersih, tapi nggak layak banget. Bayangin deh, kolam renang itu kayak satu bak gede isinya air lengkap dengan pancuran patung Neptunus yang sudah rusak, terus disampingnya ada kolam yang udah penuh lumpur dan dideketnya ada lapangan sepakbola. Jangan bayangin ada tempat ganti atau pancuran buat mandi, tembok untuk ngebatasin kolam renang dengan perkampungan warga aja nggak ada, jadi ya istilahnya 'ngegemblang' aja. Keliatan kemana-mana, apalagi kalau dilihat dari tempat parkir Ciwalk.

Herannya, anak-anak dan warga yang renang disana kayaknya asik-asik aja. Mereka berenang dan keramasan disitu, terus lanjut main sepakbola. Ibaratnya kayak gelanggang olahraga gratisan.

Ya, jaman sekarang emang susah nyari yang gratisan. Fasilitas kolam renang sih ada, tapi semuanya harus pake duit dan harga yang harus dibayar mungkin nggak sesuai dengan dompet mereka. Makanya, keberadaan kolam renang itu sangat dimanfaatkan sebagai ajang pengalihan tempat rekreasi, apalagi untuk anak-anak yang orang tuanya tidak memiliki kesempatan mengajak mereka ke kolam renang berduit. Nggak peduli rasa malu atau kebersihan dari lingkungan kolam renang itu, apalagi ketimpangan bangunan antara kolam renang dengan Ciwalk. Yang ada dipikiran mereka hanya kesenangan, kesenangan dan kesenangan. Ironis.

Wednesday, June 2, 2010

Di Balik Frame Kamera (2)

Kurang nendang!
Itu adalah kalimat yang cocok buat menggambarkan proses pembuatan film dokumenter dihari kedua ini. Pasalnya kita baru mulai bergerak sekitar jam3 sore karena lama menunggu sang dosen yang mau ngetes UAS dikampus.

Dihari kedua ini, kita cuma berhasil ngumpulin 18 orang, jauh banget jumlahnya dengan yang sebelumnya. Yah mungkin karena masalah waktu sih.

Soal pengalaman atau cerita yang didapat, tentu saja tetap menjadi hadiah plus-plus dari proses pembuatan dokumenter ini. Dari 18 orang yang kita mintai partisipasinya, diantaranya ada seorang bapak yang berprofesi sebagai pemulung, ibu-ibu rumah tangga yang berolahraga di Lapangan Gasibu juga para wisatawan domestik yang asyik poto-poto atau sekedar duduk-duduk mandangin Gedung Sate. Hadiah plus-plus lainnya, hari ini saya sedikit merubah persepsi saya terhadap orang-orang berseragam yang sebelumnya dinilai kurang bersahabat dan sedikit angkuh, karena kali ini, saya dan teman saya berhasil melakukan pedekate sama orang-orang berseragam didaerah Gedung Sate dan mereka mau memberikan pendapat untuk proyek dokumenter ini. Hahaa...

Mood saya dihari kedua ini, memang kurang menggebu-gebu jika dibandingkan dengan hari sebelumnya. Mungkin karena sudah terlalu sore, atau karena hilangnya minat gara-gara menunggu lama sang dosen tercinta.

Saya dan teman saya lebih banyak menghabiskan waktu untuk duduk-duduk dan mengamati orang-orang disekitar Lapangan Gasibu. Ini merupakan pengalaman baru bagi saya. Karena dalam dua hari ini saya jadi manusia-penikmat-suasana-kota, setelah hari sebelumnya saya menikmati dan duduk santai ditaman Masjid Gunung Agung. Baru kali ini saya ngerasain apa yang dirasain salah satu teman saya yang hobi jalan-jalan ke taman kota bareng pacarnya. Ternyata, emang asik banget. Bikin suasana adem ngeliatin pemandangan langit sore atau orang-orang yang sibuk dengan aktivitasnya masing-masing.

Ahh ternyata selama 20tahun ini, saya baru menyadari bahwa duduk menikmati pemadangan taman kota ternyata lebih seru dibandingkan dengan jalan-jalan atau main ke mall.
Ciamik!

Tuesday, June 1, 2010

Di Balik Frame Kamera

Membuat film dokumenter memang bukan pengalaman pertama bagi saya, karena sebelumnya saya sudah pernah membuat film dokumenter, yang pertama film dokumenter tentang perbedaan yang diperlukan untuk kepentingan suatu event di kampus dan yang kedua film dokumenter mengenai satu kegiatan organisasi yang lebih mengarah pada peliputan.

Sekarang ini, merupakan kali ketiga bagi saya dalam membuat film dokumenter. Kami berdua, saya dan salah satu teman saya dikampus, membuat film dokumenter yang berisi testimoni dari warga Bandung mengenai Kota Bandung ini, dalam rangka suatu penghargaan atas hari jadi Kota Bandung yang ke-200. Kalau menurut saya, proyekan film dokumenter kali ini jika dibandingkan dengan dua film dokumenter sebelumnya, benar-benar berasal dari keinginan kita pribadi bukan karena kepentingan event atau apapun. Ya sukur-sukur, bisa dihargai oleh para penikmat film atau bisa nembus ke stasiun TV baik lokal maupun nasional. Amin...

Kita mengambil angka 200 sebagai jumlah testimoni dalam dokumenter ini. Bisa dibayangkan bagaimana sulitnya mencari 200 orang dari berbagai kalangan, dari tua maupun muda. Untuk hari pertama proses pembuatan dokumenter ini, kita berhasil mengumpulkan kurang lebih 50 orang dari berbagai kalangan.

Saya dan teman saya, mungkin memiliki cerita atau kesan tersendiri saat proses pembuatan dokumenter ini dihari pertama ini. Kalau buat saya sih, surprise banget !

Dari pagi sampai sore, kita muterin Bandung. Jalan kaki dari Jl.Jawa, Balai Kota, Braga sampai Gedung Asia Afrika, terus dilanjut ke Tegalega, stasiun Bandung dan Alun-Alun pakai motor. Kalau buat saya sih, capek fisiknya nggak sebanding sama capek batin yang saya dapetin. Kita mesti punten-puntenan dengan tampang manis dan buang jauh-jauh rasa malu buat minta tolong ke orang-orang untuk mau berkontribusi dalam proyekan ini. Mulai dari ibu-ibu sama anak SMP dan SD yang rada banci kamera dan langsung mau aja pas kita mintaian tolong, pedagang kaki lima yang malu-malu pas ngomong, mahasiswa yang nggak sengaja nemu, ibu penjual gorengan yang ujung-ujungnya cerita tentang kehidupan dia dan keluarganya, pendatang dari Jakarta yang kita temuin di Stasiun Bandung, bapak penjaga palang pintu kereta api, pengamen di Alun-Alun yang dengan rela mau berbagi cerita dengan kita, para pemain sepak bola yang dimarahin pelatihnya gara-gara agak kampungan pas ngeliat kamera, cowok-cowok brondong pemain skate dan masih banyak lagi.

Seneng sih, dengan sikap mereka yang cooperative dan mau terbuka yang akhirnya bikin mood saya OK. Tapi nggak semuanya bisa bikin mood saya tetap OK, contohnya ketika sebagian orang menolak untuk memberikan testimoni dengan alasan nggak tahu apa-apa, bahkan sampai kita di'lempar' dari satu orang ke orang lain sama orang-orang berseragam, yang ujung-ujungnya mereka nggak ngasih testimoni apa-apa karena takut diapa-apain dengan kondisi mereka yang sedang berseragam. Apa kata dunia...

Ya justru, itulah serunya. Mesti banyak sabar dan maklum dengan orang-orang yang mungkin belum percaya dengan kita dan takut disalahgunakan pendapatnya. Tapi terimakasih banget untuk orang-orang yang mau membantu bahkan sampai mau terbuka dan berbagi cerita dengan kita. Nah, inilah asiknya dokumenter, selain dapetin apa yang kita mau buat kepentingan dokumenter, kita juga dapet hadiah plus-plus berupa pengalaman hidup dari orang-orang dalam film dokumenter ini.


Hmm... jadi nggak sabar nerima hadiah lainnya. ^^,

Sunday, May 30, 2010

Pohon Ek dan Pohon Kelapa

Angin berhembus menggoyangkan dedauan pohon ek dan pohon kelapa yang sudah 10 tahun hidup di sebuah hutan yang menjadi sumber kehidupan warga disekitarnya. Mereka hidup berdampingan dengan rukun dan damai. Pohon ek memiliki batang yang tinggi menjulang dan memiliki daun yang hijau, melebar dan panjang. Sedangkan pohon kelapa yang lebih rendah tingginya daripada pohon ek, tetap sama dengan karakteristik pohon kelapa lainnya, yaitu berbuah kelapa dengan daun yang tersusun secara majemuk dan menyirip.

Aneh memang, ketika pohon ek dan pohon kelapa dapat hidup berdampingan disatu tempat. Karena biasanya pohon ek hidup didaerah dingin dan basah, sedangkan pohon kelapa biasanya hidup didaerah tropis. Namun karena keajaiban dari hutan tersebut, mereka akhirnya dapat hidup bersama.

Warga setempat selalu mengambil hasil dari pohon kelapa berupa buah dan daun-daun kering yang mereka gunakan untuk bahan bakar. Aktivitas tersebut selalu berlangsung setiap hari, karena pohon kelapa tidak pernah berhenti berbuah dan hal inilah yang selalu dibanggakan oleh warga dari pohon kelapa tersebut. Berbeda dengan pohon ek yang tidak pernah sekalipun mendapatkan pujian dari warga, karena dia tidak dapat menghasilkan apa-apa.

"Aku sedih sekali karena tidak bisa memberikan yang terbaik untuk warga yang tinggal disekitar hutan ini. Huhuu..." Ujar pohon ek dengan nada sendu.

"Tenanglah. Aku yakin, suatu saat nanti kau akan dapat memberikan manfaat untuk mereka." Sahut pohon kelapa memberikan dukungan kepada pohon ek.

"Tapi kapan? Aku tetap seperti ini dari dulu sampai sekarang. Sebuah pohon yang tidak memberikan hasil apa-apa. Aku adalah makhluk yang tidak bermanfaat." Ujar pohon ek masih dengan nada sendu.

"Kau masih ingat kan, ketika aku masih muda dulu, menghasilkan buah pun aku belum bisa. Tapi sekarang, lihatlah!" Pohon ek mengarahkan pandangan pada pohon kelapa. "Semuanya berubah, aku yang dulu tidak bisa apa-apa, kini sudah mampu menghasilkan buah dan daun kering untuk warga. Percayalah kawan, suatu saat nanti kau pun akan berubah dan dapat bermanfaat seperti aku."

Mendengar nasehat pohon kelapa, pohon ek hanya menunduk lesu.

Beberapa hari kemudian, warga berbondong-bondong mendekati kedua pohon tersebut dengan membawa beberapa peralatan memotong kayu yang sederhana. Mereka bermaksud untuk menebang pohon ek dan menggunakan batangnya untuk membuat jembatan dipemukiman mereka. Ditengah-tengah aktivitas persiapan warga untuk penebangan pohon ek, pohon kelapa berbisik pada pohon ek.

"Lihat! Ucapanku dulu terbukti, kan. Kini kau telah berubah. Kau menjadi manfaat bagi warga, dan pasti setelah itu warga akan memberikan pujian yang indah untukmu." Ujar pohon kelapa dengan antusias. Namun pohon ek hanya membalasnya dengan diam. Wajahnya tertunduk lesu.

"Kenapa kau murung? Seharusnya kau bahagia dengan perubahan ini." Pohon ek tetap tidak menjawab perkataan pohon kelapa.

Pohon ek membuka mulutnya dan berkata, "Apakah aku salah, jika akhirnya semua berubah, entah kenapa aku malah berpikir aku tidak mau semua ini berubah." Pohon ek menghela napas sejenak. "Ya, kau benar. Bahwa aku telah berubah. Aku bukan lagi menjadi pohon yang tidak bermanfaat, karena kini aku telah memberikan yang aku punya untuk mereka." Pohon ek kembali menghela napas dengan berat. "Benar apa yang kau katakan, bahwa seharusnya aku bahagia dengan perubahan ini. Tetapi aku lebih memilih untuk bersedih, karena aku tidak menginginkan perubahan ini ada."

Dengan sigap warga mulai menebangin pohon ek dengan alat-alat yang mereka bawa tadi, tanpa memberikan waktu sejenak kepada pohon kelapa untuk berbicara bahkan untuk sekedar mengucapkan selamat tinggal.

Monday, May 24, 2010

Feminin Sefeminin-femininnya

Beberapa hari yang lalu salah satu dosen saya memberikan tugas mengenai teori gender dan feminisme. Satu hal yang nempel diingatan saya dari tugas-yang-nggak-beres-dan-terbengkalai itu yaitu tentang feminin. Lucu sih, kalau nginget-nginget konsep feminin yang sering orang-orang utarakan dan sejujurnya bukan-gua-banget. Banyak orang yang sering mengumbar bahwa feminin itu identik dengan rambut panjang, lemah lembut, pake make-up, pake rok/dress plus sepatu hak tinggi, de el-el.

Untungnya, konsep seperti itu sudah lama ditinggalkan, jadi saya bisa bernafas lega tanpa harus terbebani dengan kualifikasi-kualifikasi yang sangat memberatkan bagi saya. Walaupun masih ada selentingan dari orang-orang terdekat mengenai konsep-konsep feminin yang sebaiknya melekat pada saya.

Ya saya memang bukan tipe cewek yang terkualifikasi dalam konsep feminin yang saya utarakan sebelumnya. Bukannya nggak mau jadi feminin, saya sendiri sih lebih mementingkan sisi kenyamanan dari semua syarat-syarat menjadi feminin itu.

Pernah dulu ketika perpisahan kelas 3 SMA, saya mengenakan kebaya dengan rok batik panjang lengkap dengan sepatu dengan hak 12 cm. Alih-alih pengen terlihat lebih tinggi, baru jalan dari parkiran ke lapangan tempat perpisahan saja, saya udah ngerasa pegel. Untungnya di mobil ada sendal jepit, jadi sepatu-cantik-yang-menyakitkan itu saya tinggalkan dan berpaling pada sendal-jepit-yang-butut-tapi-nyaman.

Contoh lainnya, ketika beberapa hari lalu saya dan teman-teman di kelompok vokal di kampus mengisi acara dikampus dan memang diwajibkan bagi kami untuk tampil girly. Saya yang memang dari sananya rada metal, rada susah untuk menyiapkan kostum yang pas. Lebih parahnya, semua stok dress yang saya punya yang menurut saya girly, ditolak sama manajer gara-gara dinilai kurang girly. Untungnya saya dipinjamkan oleh teman saya, satu dress yang akhirnya di ACC oleh manajer kami. Perjuangan belum berakhir, karena saya juga harus menyiapkan sendal cantik ala princess lengkap dengan manik-manik dan hak 5 cm-nya yang berhasil saya pinjam dari tante saya. Lucunya, ketika kami sedang bersiap-siap disalah satu ruangan dilantai 4, tiba-tiba panitianya bilang kalau waktu tampil kami sebentar lagi. Karena diburu-buru sama manajernya, kami semua jadi lari turun tangga ke tempat acara yang ada dilantai 3. Teman saya yang lain, sepertinya sudah lihai dalam hal berlari dengan sendal ber-hak tinggi. Nah saya ! Karena repot dan nggak biasa, saya akhirnya mencopot sendal yang saya pakai dan lari sambil nyeker. Bodo amat deh, diketawain sama orang yang lihat.

Hmmm... jadi cantik itu memang sakit! Dan saya percaya itu.

Kadang saya heran, sama orang-orang yang tahan berlama-lama pakai sepatu ber-high heels, atau pakai kemben yang ketat atau pakai konde yang berkilo-kilo beratnya. Ya mungkin buat mereka, hal tersebut nyaman dipakai dan fine-fine saja. Tapi prinsip saya, yang penting nyaman ya saya pakai, mau itu kaos, dress, sepatu kets atau high heels sekalipun. Kalau nggak nyaman, ngapain juga dipakai, yang ada malah nyakitin diri sendiri hanya demi sebuah feminitas.

Justru saya pikir bahwa feminin dari segi penampilan fisik itu hanya salah satu unsur yang bisa menjadi nilai tambah dari feminitas perempuan. Toh, feminitas itu bisa muncul dalam beberapa hal, kan. Misalnya, saya pernah merasa memiliki sisi feminin yang kuat ketika saya ketika saya menggendong dan mengganti popok adik saya waktu kecil. Atau ketika saya berada diantara dua sahabat laki-laki saya dan menyiapkan makan siang untuk mereka_walaupun sebenarnya tidak hanya perempuan yang bisa memasak.

Ya mungkin sekarang ini, konsep feminitas sudah mulai bercampur dengan maskulinitas. Sehingga tidak jarang kita menemukan perempuan-perempuan dengan stelan pakaian seperti laki-laki dan berambut cepak, yang penting jangan sampai melupakan kodratnya sebagai perempuan. Bahkan dari salah satu sumber yang saya baca, secara psikologis dikatakan bahwa perempuan akan merasa lebih feminin saat kembali pada kodratnya.
Wah wah....

Friday, May 21, 2010

Meracau (lagi)

Hei tunggu! Tolong garis bawahi apa yang anda katakan. Jika memang tidak sesuai dengan apa yang anda lakukan, sebaiknya tidak usah menjawab seperti itu.

Anda kini tak sama lagi seperti yang saya kenal dulu.

Ahh saya meracau (lagi).

Thursday, May 20, 2010

Meracau

X : Mana yang lebih penting, sahabat atau pacar?
Jika mereka sama pentingnya untuk kita, bagaimana caranya agar kita tidak sampai kehilangan keduanya, ketika kita dihadapkan pada satu kondisi dimana kita harus memilih salah satu diantaranya?


Ahh.. pertanyaan macam apa itu!
Tidak rugi kan, jika saya tak menjawabnya.


Y : Pasti sahabat, karena dia orang yang selalu mengalah saat kita sedang dilema. Karena dia yang selalu mendukung apapun yang menjadi pilihan kita. Karena dia, orang yang tidak pernah mengeluh saat kita terbuai melupakan dia. Dan karena dia, orang yang selalu ada saat kita menangis.


Ya ya.. Mengalah. Mendukung. Tak pernah mengeluh. Selalu ada.


Y : Seorang sahabat pasti akan merelakan sahabatnya untuk bahagia. Dan itu yang harus kita pilih.


.....


Y : Jika dihadapkan pada posisi seperti itu, tentu akan memilih sahabat. Karena kita tentu lebih dulu memiliki sahabat bukan pacar. Dan sahabat yang tahu tentang kita.


.....



Terkadang, karena situasi dan kondisi semuanya berubah. Ahh maaf, saya meracau. Lupakan saja!

Thursday, May 13, 2010

Un-Known

Saya : wajar sih kalo kamu cemburu sama dia, kamu kan pacarnya.
Teman : tapi nggak gitu Tyas, aku percaya sama pacar aku, tapi kalo dia, aku ga yakin. Bisa aja didepan aku, dia seolah-olah mengganggap pacar aku sebagai teman. Tapi dibelakang aku, dia malah 'nuking'.
Saya : ya kemungkinan emang bisa aja, hati orang siapa yang tahu sih..
Teman : (sigh)

Andai saja kita bisa tahu isi hati atau perasaan orang tanpa perlu bertanya atau mengira-ngira. Mungkin teman saya tak perlu ketakutan kehilangan pacarnya yang bersikap baik ke temannya yang lain, dan tentu saja teman saya tak perlu repot berprasangka negatif pada temannya itu. Andai semua pengandaian dan kemungkinan itu tidak hanya sekedar pengandaian dan kemungkinan saja.

Ya ampun...

Kenapa ya saya jadi mengharapkan sesuatu hal yang mustahil terjadi. Toh mau bagaimanapun caranya, kedalaman hati seseorang tidak akan ada yang tahu selain dirinya sendiri dan Tuhannya.

Ahh.. mungkin Tuhan memiliki rencana yang baik mengenai hal ini.

Wednesday, May 12, 2010

CHEERFUL










Dua hari belakangan ini, semangat saya sedang berada di titik puncak. Ahhhh senang sekali melewati dua hari ini dengan hati yang tenang dan penuh kebahagiaan.

Entah memang tidak ada beban, atau sebenarnya topeng diri saya menutupinya seolah-olah tidak ada beban. Tapi yang pasti secara sadar saya rasakan, tidak ada beban hati (kecuali tugas) yang menyiksa. Kalau kata salah satu lirik lagu Iwa K. sih katanya: bebas...lepas...

Oh Tuhan, betapa saya menikmati dua hari yang membahagiakan ini. Bibir saya tak pernah kering mengucap kata terimakasih.

Friday, April 23, 2010

Cerita Si Bungsu

Sore itu, saya yang mendapat giliran membersihkan rumah. Lap tipis dan sapu yang ringan terasa berat ditangan saya. Ahh saya malas bersih-bersih disore hari. Rasa-rasanya jam segitu lebih enak dipakai untuk bersantai sambil menikmati suguhan gosip di TV dengan cemilan ala kadarnya.
Hmm...

Sambil me-lap foto mama dan papa yang dipajang dimeja, saya bertanya iseng pada Mbah yang duduk tak jauh dari tempat saya.

Saya : Mbah, kata Mbah, mama sama papa mirip nggak, sih?
Mbah : ndak...
Saya : Kenapa nggak mirip? kan kata orang Jawa, katanya kalau jodoh suka mirip?
Mbah : Ya ada sih mirip sedikit.

Saya menggangguk pelan, sambil masih mengarahkan pandangan ke foto kedua orang tua saya, mencoba mengidentifikasi kemiripan keduanya.

Mbah : Tapi mama sama papa kamu bagus, soalnya sulung sama bungsu.
Saya : Emang kenapa gitu, Mbah?
Mbah : Ya kan kalau kata orang Jawa, suami istri yang sulung sama bungsu itu bagus, pas gitu....

Mbah masih tetap meneruskan penjelasannya diselingi istilah-istilah Jawa yang tidak saya mengerti. Saya hanya mengangguk dan mengiyakan penjelasannya saja. Sambil mencoba menyimpulkan bahwa pasangan suami istri antara si sulung dan si bungsu itu dinilai baik oleh kalangan para orang tua Jawa, dengan alasan dapat saling melengkapi satu sama lain.

Saya kembali melanjutkan aktivitas bersih-bersih sambil bergumam: ohhh bungsu, cepatlah datang....

Monday, April 19, 2010

Negosiasi

Aku rindu. Lama sekali kita tak bertemu. Hmm... jangankan bertemu, menyapa pun harus aku lakukan dengan usaha yang menguras tindakan dan pikiran. Mungkin bukan kamu yang tidak mau bertemu, tapi karena aku yang terlalu memaksakan diri untuk menjauh.

Hmm... memang kita terpisah jarak ya? Bukannya kamu selalu ada disaat aku sedih atau senan, kan? Berarti memang aku yang membentuk jarak diantara kita. Begitu ya?

Oh ya, terimakasih atas hadiahmu beberapa bulan yang lalu. Walaupun aku baru menikmatinya beberapa hari belakangan ini. Aku tahu, hadiah yang kamu berikan itu berkat doaku selama ini, kan?

Tapi, hadiahmu terlalu istimewa. Terlalu berat bagiku untuk menerimanya, karena mungkin aku harus lebih banyak berbalas budi atas hadiah itu.

Aku memang menginginkan hadiah darimu, tapi bukan hadiah itu. Jujur, aku telah lama menginginkan barang lamamu yang telah lama kau simpan. Masih ada, kan? Atau memang tak ada kesempatan lagi untukku memiliki barang lamamu?

Ahh.. aku terlalu keras kepala dengan mengharapkan barang lamamu yang tidak pernah bisa aku dapatkan. Mungkin kamu bingung karena aku tidak mau menerima hadiahmu dan lebih memilih barang lamamu yang sudah usang.

Jangan marah ya, karena sikapku ini. Aku yakin, kamu masih memiliki limpahan hadiah lainnya untukku. Iya kan?

Tapi untuk sekarang, bisakah aku bernegosiasi denganmu, Tuhan?

Wednesday, March 31, 2010

Lupa-Lupa (Nggak) Ingat



Tentu anda sering lupa, kan? Apakah lupa menyimpan uang, lupa tidak membawa buku, lupa dimana menyimpan kunci mobil atau motor, lupa sama teman lama dan berbagai lupa lainnya. Namun tentu saja, lupa yang anda alami dan pengalaman yang akan saya ceritakan lewat tulisan ini tidak sama dengan lupa dalam video Alzheimer diatas.

Dalam keluarga, saya memiliki dua orang nenek, salah satu nenek saya yang sering saya panggil dengan sebutan ‘Mbah’, akhir-akhir ini sering lupa. Awalnya saya menganggap biasa dengan kebiasaan lupa yang Mbah alami, namun ketika hal tersebut terjadi berulang kali dan menjadi topik utama diantara keluarga saya, saya menjadi was-was sendiri.


Misalnya pas makan malam, saya makan berdua bersama Mbah. Tapi selang 10 menit setelah kami selesai makan, Mbah tiba-tiba bertanya kepada saya: “Kok, kamu nggak makan?”. Pernah juga Mbah 3 kali kelupaan menyimpan uang pemberian Tante saya bahkan Mbah juga lupa kalau Tante saya pernah memberinya uang.


Terkadang lupa-nya Mbah tidak jarang membuat saya dan Tante saya keki sendiri.


Pernah suatu pagi Mbah beli candil dua bungkus dan menyimpannya dimeja, lalu Mbah pergi kekamar untuk mengambil uang dan membayar candil tersebut. Pas balik lagi ke meja untuk mengambil candil, Mbah nanya.

Mbah: Kok candilnya dua? Siapa yang ngambil satu?

Saya : Nggak tahu, Mbah. Kan tadi Mbah nyimpennya cuma dua.

Mbah : Nggak, kan tadi beli tiga. Siapa yang makan satu lagi? Si Bu’le udah ngambil belum, coba tanyain.

Saya : Bu’le-nya juga udah berangkat kerja barusan. Tadi nggak bawa apa-apa da.

Mbah : Coba tanyain, takut udah ngambil satu.

Akhirnya, saya bela-belain telpon Tante saya hanya untuk menanyakan apakah Tante saya mengambil candil atau tidak. Walaupun jawaban Tante saya tidak, tapi Mbah tetep kekeuh bahwa Tante saya sudah mengambil candilnya.


Contoh lainnya, ketika Tante saya lupa menyimpan kunci kamar yang masih menggantung dipintu kamarnya. Tante saya menelpon Mbah untuk menyimpankan kunci kamarnya tersebut. Pas sore harinya, saya disuruh Tante saya untuk menagih kunci kamar yang disimpan Mbah.

Saya : Mbah, kata Bu’le disuruh ngambil kunci kamar yang tadi disimpen Mbah.

Mbah : Yehh, nggak tahu.

Saya : Tadi kata Bu’le dititipin di Mbah.

Mbah : Nggak tahu, Mbah mah nggak pernah ngurusin kunci kamar orang, masuk kamarnya juga nggak berani… bla… bla… bla… (Mbah jadi marah-marah)

Ujung-ujungnya, karena Mbah nggak ngaku (lupa), saya dan Tante saya sibuk mencari-cari kunci yang tadinya disimpen oleh Mbah.


Serba salah memang ketika saya dan orang rumah menanggapi kebiasaan lupa Mbah tersebut. Kadang-kadang kesel dan emosi, pengen marah tapi takut menyinggung Mbah, kalau diam saja malah kesel sendiri. Dan akhirnya, hanya toleransi dan banyak-banyak maklum adalah cara yang pas untuk merespon kebiasaan lupa Mbah tersebut.


Menjadi tua adalah pasti, menikmati tua adalah pilihan.