Dari 15 menit yang lalu, sejak kedatangan kita ke kedai kopi langgananmu, aku tak mendengar satu kata pun keluar dari mulutmu. Yang kau lakukan selama itu hanya diam. Kau hanya mengangguk dan tersenyum kecil saat ku ceritakan sesuatu. Kemudian kau kembali diam. Sesekali tanganmu mengaduk segelas kopi dihadapanmu yang mulai mendingin. Segaris luka di punggung tangan kananmu -bekas cakaran Mio, kucing peliharaanmu, beberapa hari yang lalu- belum hilang.
Ku pikir, setelah kau teguk kopimu, kau akan mulai bicara. Ternyata tidak. Kau masih betah dengan diammu.
Masih dengan diam, kau betulkan letak kacamata minusmu. Mulutmu masih tertutup rapat. Sepertinya kau kehilangan gairah untuk berbicara.
Ada apa? Kenapa kau diam saja?
Di kanan kiri kita; pasangan muda-mudi, pekerja kantoran dengan tentengan laptop dan laporan, para ibu rumah tangga kelebihan uang yang menjadikan kopi sebagai gaya hidup; asik bercengkrama dan tertawa. Entah apa yang mereka perbincangkan. Mungkin menceritakan si pacar yang tak pernah berkunjung di sabtu malam, perbincangan serius dalam rapat, atau sekedar obrolan ngalor-ngidul pengisi waktu luang.
Apakah kau tidak iri dengan mereka?
Sudah 30 menit kita lewati dengan diam. Kopi dalam gelasmu tinggal setengah, sedangkan milikku hanya berkurang sepertiga. Bagiku kopi ini tasteless. Hambar tanpa dilengkapi obrolan renyahmu.
Ada apa? Kenapa kau diam saja? Kau sakit? Atau kehilangan bahan obrolan?
Aneh rasanya jika dipikiranmu tidak ada sesuatu yang ingin kau ceritakan. Biasanya mulutmu tak pernah berhenti berbicara sampai aku menunduk dan cemberut sebagai tanda aku bosan. Katakan apapun yang ingin kau katakan. Aku janji akan mendengarmu dan menahan diri agar tak cepat bosan. Lihatlah, telingaku sudah siaga untuk mendengarmu.
Hey, kenapa kau masih diam saja? Apakah pikiranmu saat ini sedang menyeleksi bahan obrolan yang akan kau ceritakan?
Tak perlu sulit menyeleksi, lihatlah disekeliling kita. Ada pengunjung dan pramusaji yang bisa kita komentari. Bukankah itu yang sering kita lakukan ditengah aktivitas makan siang kita, iya kan? Atau kau ingin menceritakan hal yang lain?
Kau bisa menceritakan pekerjaan dan setumpuk tugas kantormu yang sering kau tunda-tunda, keluhan macet dipagi hari yang sering membuatmu terlambat ke tempat kerja, kucingmu Mio yang sering dijadikan penindasan Lyla, ponakanmu, kacamata emporio armani yang kau taksir dari sebulan yang lalu, atau mungkin tentang tetanggamu yang janda nan genit yang selalu membuatku cemburu.
Nyatanya, semua hal itu tak menarik. Kau sama sekali tidak berpaling dari diammu.
Apa yang membuatmu bertahan untuk diam selama 45 menit ini? Apakah kau masih akan terus diam 15 menit kedepan, untuk menggenapkan waktu diammu menjadi satu jam?
Ahh, aku sama sekali tak bisa memaknai arti diammu. 45 menit aku habiskan agar kau mau keluar dari posisi itu, tapi usahaku tak berbuah. Apakah aku harus teriak di telingamu agar kau mau berbicara? Atau aku lebih baik diam saja sepertimu? Sambil berharap semoga dimenit berikutnya kau mau bicara. Ya, sepertinya aku akan ambil pilihan kedua dan memulai untuk diam. Mungkin setidaknya dengan mengikutimu untuk diam, aku bisa mengetahui, merasakan dan memaknai arti diammu itu.
[sigh]