"Bing, bolehkah aku bercerita tentang sesuatu? Tentang sebuah tempat yang ku beri nama Ruang Imajiner, tempat bermainku yang baru."
"Tempat apa itu? Saya boleh tahu?"
"Sebuah tempat dimana aku bisa menikmati apa yang tidak bisa ku nikmati secara nyata. Sebuah tempat yang tidak nyata namun kuanggap nyata. Sebuah tempat dimana aku menikmati dia sebagai suatu imagologi.
Ketika orang-orang berkata bahwa imagologi itu tidak terlepas dari teknologi dan hadir dalam bentuk televisi maupun media massa, nyatanya aku menemukan esensi imagologi dalam dirinya."
"Memangnya siapa yang kau maksud dengan 'dirinya'?"
"Dia.. Ya dia yang hadir dalam bentuk imagologi, yang membawa aku ke dalam imaji tentang realitas yang pada titik tertentu dianggap sebagai realitas itu sendiri."
"Maksudnya?"
"Aku sedang menikmati dunia ketidak-nyataan yang kuanggap nyata, Bing. Bahkan terkadang, aku pun sulit membedakan mana dunia tidak nyata yang dianggap nyata atau dunia nyata yang banyak ketidak-nyataan.
"Bagaimana bisa kamu menemukan dia dalam ketidak-nyataan yang kamu sebutkan tadi?"
"Aku menemukannya dalam kontemplasi cinta pada Sang Maha Cinta. Dari serpihan-serpihan doa yang baru Tuhan wujudkan dalam dunia paralel."
"Dunia paralel? Tempat apa lagi itu?!"
"Dunia paralel tercipta saat suatu peristiwa terjadi, dimana ia merupakan lawan dari peristiwa itu. Dunia paralel itu seperti dunia yang sedang kita alami ini, it's similar but not exactly the same. Itu kata orang-orang yang menamakan dirinya sebagai Ahli Fisika Kuantum.
Ketika didunia nyata, dia hanyalah sebuah imagologi. Aku yakin, di dunia paralel sana dia tercipta sebagai sesuatu yang nyata."
"Ah, ceritamu sulit dimengerti. Ruang imajiner, imagologi, dunia paralel... semua itu khayalan!"
"Aku tak butuh pengertianmu, Bing. Cukup gunakan intuisimu untuk merasakan ceritaku. Betapa sulitnya aku membawa diriku kembali kedalam realitas nyata. Terlepas dari perangkap imagologi tentang dia.
Lama-lama, aku juga kesal dengan tahap formal operational-nya Piaget yang membawaku pada satu fase dimana aku mampu berpikir abstrak tentang sesuatu hal tanpa mengalaminya secara konkrit. Dimana aku melihat dia yang nyata tapi hanya mampu menikmatinya dalam ketidak-nyataan, dalam bentuk imagologi di sudut ruang imajiner.
Tapi, dari sana aku bersyukur, setidaknya dengan tahap ini aku masih memiliki kesempatan untuk menikmati dia walaupun dalam ketidak-nyataan."
"Ah, kau ini aneh..."
"Biarlah orang-orang menganggapku aneh atau bodoh, Bing. Toh aku pun memang sedang asyik menikmati kebodohan ini.
Terimakasih sudah mendengarkan ceritaku, Bing. Ruang imajiner ini terbuka, untuk siapapun yang menikmati ketidak-nyataan dalam dunia nyata."
No comments:
Post a Comment