Monday, January 16, 2012

Cuti Haid; Antara Ada dan Tiada

Berdasarkan materi perkuliahan SDM yang saya dapatkan di kelas, isi hukum normatif menjelaskan bahwa para pekerja berhak mendapatkan 8 hal yang menjadi kewajiban pengusaha. Yaitu: Upah minimum kota/kabupaten; Upah lembur; Jamsostek; Waktu istirahat; Cuti haid dan cuti hamil utk perempuan; Upah selama sakit; THR; Uang pesangon.

Pasal 81 UU No 13/2003 menjelaskan bahwa idealnya setiap perusahaan memberikan hak cuti haid kepada pekerja perempuannya sebanyak 1-2 hari setiap bulan. Namun nyatanya, belum semua perusahaan menetapkan aturan itu.

Cuti haid itu hak setiap perempuan, terutama bagi mereka yang memiliki keluhan sakit. Memang tidak semua perempuan memiliki keluhan sakit saat menstruasi, tetapi hak cuti tetap berlaku lho.

Bagi mereka yang bekerja ditempat yang nyaman dengan akses kamar mandi yang mudah, mungkin tidak akan menjadi masalah. Nah kalau kebalikannya gimana?

Perusahaan banyak yang tidak menetapkan aturan ini karena takut hak tersebut disalahgunakan untuk bolos. Tetapi keadaan tersebut sebetulnya bisa diatasi, misalnya dengan mendata waktu menstruasi setiap pekerja perempuan. Jadi bisa tahu mana yang benar-benar menstruasi atau cuma bolos saja.

Kalau dengan aturan ini perusahaan merasa takut rugi & produktivitas pekerja dikhawatirkan berkurang, berarti bisa dibilang perusahaan melanggar hak asasi pekerja dong.

Ironisnya lagi, banyak pekerja perempuan yang belum paham dengan aturan ini. Kalaupun ada yang tahu, mereka kadang suka tidak berani untuk meminta haknya karena takut dikurangi upahnya atau bahkan dipecat. Padahal kan aturan itu dilindungi UU.

Saya tidak bermaksud membela pihak manapun, ada baiknya masing-masing membuat kesepakatan mengenai mana yang boleh & tidak boleh dilakukan dalam hubungan kerja. Sehingga masing-masing tidak merasa dirugikan, dan pekerja perempuan pun dapat bekerja dengan nyaman.

Masalah cuti haid, mungkin hanya sebagian masalah kecil berkaitan dengan hak-hak pekerja perempuan yang belum terealisasikan dengan baik dalam perusahaan. Masalah lainnya misalnya berkaitan dengan cuti hamil. Perusahaan cenderung tidak mau menerima cuti hamil/melahirkan bagi pekerja perempuan terutama pekerja yang berstatus Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) atau pekerja kontrak. Karena dengan cuti hamil tersebut pihak pengusaha merasa rugi apabila harus mengeluarkan upah bagi seorang pekerja yang tidak melaksanakan kerjanya dalam jangka waktu 3 bulan (1,5 bulan sebelum dan sesudah melahirkan).

Ya kita memang selalu berharap agar kebijakan-kebijakan yang dibuat perusahaan/pemerintah lebih ramah dengan perempuan. Walaupun pada kenyataannya tidak semudah seperti yang dituliskan dalam UU tersebut. Keberadaan serikat pekerja pun seolah-olah nihil dan tidak dapat membantu apa-apa karena ancaman terbesarnya berkaitan dengan kendala ekonomi, yaitu pemutusan hubungan kerja (PHK).

Beruntunglah bagi anda yang perusahaannya sudah menetapkan dan menjalankan kebijakan-kebijakan yang baik untuk pekerja perempuan, seperti salah satunya cuti haid ini. Dan bersyukurlah bagi kita yang tidak mengalami keluhan sakit apapun saat menstruasi sehingga tidak mengganggu aktivitas sehari-hari.

Sekian curhatan saya. Semoga akan menjadi lebih baik lagi. Terimaksih.

No comments:

Post a Comment