Thursday, June 7, 2012

Menunggu Kabar Bersama Layang-Layang

Sepulang bekerja, saya berbelok mampir menuju taman kecil yang tidak jauh dari tempat tinggal. Entah kenapa, langkah-langkah kaki seolah sudah tersetting secara otomatis agar tidak lekas menuju jalan pulang. Mungkin karena daya tarik taman di sore itu begitu kentara. Seolah bermedan magnet yang menarik saya untuk sekedar duduk-duduk santai sambil menikmati senja.

Saya lantas duduk di kursi tembok yang penuh coretan anak manusia yang dimabuk cinta. Mungkin dalam prinsip mereka, kurang afdol kalau belum menorehkan prasasti cinta di tempat-tempat umum. Seperti di kursi yang saya duduki ini, ada tulisan 'Aa sayang Neng'. Lucu.

15 menit berada di taman itu, lembayung yang ditunggu tak kunjung datang, apalagi mengharap kedatangan sebuah kabar yang sejak dua minggu lalu saya tunggu. Saya bisa menafsirkan alasan lembayung yang tidak hadir sore ini, mungkin bisa saja karena dominasi dari awan-awan mendung. Tapi kalau soal kabar yang saya tunggu, saya tidak tahu alasan apa yang mewakili ketidakhadirannya.

Seolah ada yang mengerti pikiran saya, Abang Pengamen berkaos hitam tiba-tiba menghampiri dan mendendangkan lagu Right Here Waiting-nya Richard Marx. Ah sial! Kadang alam selalu mengikuti perasaan makhluknya.

Bergegas saya keluarkan recehan lima ratus rupiah agar Si Abang Pengamen itu lekas pergi. Tidak lama kemudian, ada lagi yang menghampiri. Kali ini seorang adik kecil dengan tentengan layang-layang di tangannya.

"Kak, mau bantuin nerbangin layangan saya nggak?" sahutnya to the point.

"Nama kamu siapa? Kok main layangan sendirian sih?" tanya saya.

"Agus. Temen saya lagi sakit, Kak. Kakak mau ya nerbangin layangan saya?" tanya Agus kedua kalinya. Kali ini lebih memaksa.

"Sini." Saya meraih layang-layang putih bergaris biru tersebut. Kalau sebatas menerbangkan layang-layang, saya masih bisa. Tapi kalau diminta untuk memainkannya, itu bukan kapasitas saya.

Saya mengambil jarak beberapa meter di depan Agus. Agus terus mengulurkan benang layangan sambil mengarahkan jarak pada saya. Dalam hitungan ketiga, kami coba menerbangkan layang-layang. Tapi percobaan kami yang pertama gagal. Kata Agus, anginnya sedang tidak tepat. Kemudian kami mencoba lagi, tetapi tetap gagal. Akhirnya di percobaan ketiga, layang-layang berhasil diterbangkan.

Dengan tangannya yang kurus, Agus menarik ulur benang agar layang-layangnya tetap jumawa di angkasa.

"Kamu sering main layangan ya, Gus?"

"Iya, Kak. Saya seringnya main disini, nggak apa-apa jauh dari rumah juga, yang penting bisa main layangan." jawab Agus sambil tetap menarik ulur benang layang-layangnya.

"Emang kenapa kalau dirumah kamu?" tanya saya penasaran.

"Di daerah rumah saya banyak kabel listrik, jadi ngehalangin layang-layangnya, Kak."

"Oh." Kasihan Si Agus, batin saya. Andai semua kabel-kabel listrik di negara ini bisa ditanam di tanah, mungkin Si Agus bisa  bebas bermain layang-layang tanpa gangguan kabel-kabel tersebut. "Apa yang kamu suka dari layang-layang, Gus?"

"Kata Bapak, main layang-layang itu sama kayak belajar sabar, Kak. Nih tarik ulur begini juga harus tepat," Agus menunjuk benang layang-layangnya. "Agus mesti nahan diri lho nunggu anginnya yang pas. Tarik lagi, ulur lagi, tarik lagi, ulur lagi. Kalau layangan udah di atas, tapi Agusnya nggak bener pasti turun lagi. Soalnya anginnya bisa aja berubah-rubah...."

Disaat Agus terus nyerocos panjang lebar menjelaskan perkara layang-layang, saya seolah tersadar mendengar kata 'menunggu, menahan diri dan sabar' dari pernyataan Agus tadi. Bahwa aktivitas menunggu yang saya lakukan sama halnya dengan yang dilakukan Agus saat bermain layang-layang. Agus harus mau menahan diri menunggu datangnya hembusan angin yang tepat untuk menerbangkan layang-layangnya. Begitu juga dengan saya, harus belajar menahan diri menunggu waktu yang tepat untuk kedatangan sebuah kabar itu. Mungkin juga, besar kecilnya hembusan angin bisa diibaratkan sebagai rintangan yang dihadapi. Tergantung seberapa kuat kendali kita terhadap hembusan angin tersebut.

"....Agus punya banyak koleksi layangan buatan Agus sendiri lho, Kak. Kalau mau, Kakak boleh ambil satu."

"Besok-besok, ajarin saya main layang-layang ya. Bukan cuma membantu menerbangkan, tapi belajar tarik ulur sambil merasakan hembusan anginnya." pinta saya.

"Siap! Tiap sore Agus selalu main layangan disini. Jadi Kakak tinggal datang kesini aja." sahut Agus sambil tersenyum lebar. "Oke deh!" jawab saya sambil balas tersenyum seraya mengelus-ngelus rambut Agus yang sedikit pirang kepanasan.

Saya pamit pulang duluan ke Agus, sambil mengingatkan Agus agar lekas pulang juga.


Di langkah ke dua puluh menjauhi Agus, saya membalikkan badan. Kembali memandangi Agus dari jauh yang semakin menikmati kegiatan tarik-ulurnya. Saat melihatnya menerbangkan layang-layang dengan kepala tegak dan bukan menunduk, saya kembali tersadar bahwa bermain layang-layang adalah sebuah tanda agar saya harus optimis, semangat serta tidak berhenti berharap dalam hidup.

"Teruslah terbangkan layang-layangmu, Gus. Lakukan hal yang sama pula pada impianmu, begitu juga yang saya lakukan pada impian saya. Tataplah angkasa dan kelak biarkan langit yang menjadi batasnya." ^^

NB: Kabar baik itu selalu akan datang. SEGERA :)

No comments:

Post a Comment