Beberapa hari yang lalu salah satu dosen saya memberikan tugas mengenai teori gender dan feminisme. Satu hal yang nempel diingatan saya dari tugas-yang-nggak-beres-dan-terbengkalai itu yaitu tentang feminin. Lucu sih, kalau nginget-nginget konsep feminin yang sering orang-orang utarakan dan sejujurnya bukan-gua-banget. Banyak orang yang sering mengumbar bahwa feminin itu identik dengan rambut panjang, lemah lembut, pake make-up, pake rok/dress plus sepatu hak tinggi, de el-el.
Untungnya, konsep seperti itu sudah lama ditinggalkan, jadi saya bisa bernafas lega tanpa harus terbebani dengan kualifikasi-kualifikasi yang sangat memberatkan bagi saya. Walaupun masih ada selentingan dari orang-orang terdekat mengenai konsep-konsep feminin yang sebaiknya melekat pada saya.
Ya saya memang bukan tipe cewek yang terkualifikasi dalam konsep feminin yang saya utarakan sebelumnya. Bukannya nggak mau jadi feminin, saya sendiri sih lebih mementingkan sisi kenyamanan dari semua syarat-syarat menjadi feminin itu.
Pernah dulu ketika perpisahan kelas 3 SMA, saya mengenakan kebaya dengan rok batik panjang lengkap dengan sepatu dengan hak 12 cm. Alih-alih pengen terlihat lebih tinggi, baru jalan dari parkiran ke lapangan tempat perpisahan saja, saya udah ngerasa pegel. Untungnya di mobil ada sendal jepit, jadi sepatu-cantik-yang-menyakitkan itu saya tinggalkan dan berpaling pada sendal-jepit-yang-butut-tapi-nyaman.
Contoh lainnya, ketika beberapa hari lalu saya dan teman-teman di kelompok vokal di kampus mengisi acara dikampus dan memang diwajibkan bagi kami untuk tampil girly. Saya yang memang dari sananya rada metal, rada susah untuk menyiapkan kostum yang pas. Lebih parahnya, semua stok dress yang saya punya yang menurut saya girly, ditolak sama manajer gara-gara dinilai kurang girly. Untungnya saya dipinjamkan oleh teman saya, satu dress yang akhirnya di ACC oleh manajer kami. Perjuangan belum berakhir, karena saya juga harus menyiapkan sendal cantik ala princess lengkap dengan manik-manik dan hak 5 cm-nya yang berhasil saya pinjam dari tante saya. Lucunya, ketika kami sedang bersiap-siap disalah satu ruangan dilantai 4, tiba-tiba panitianya bilang kalau waktu tampil kami sebentar lagi. Karena diburu-buru sama manajernya, kami semua jadi lari turun tangga ke tempat acara yang ada dilantai 3. Teman saya yang lain, sepertinya sudah lihai dalam hal berlari dengan sendal ber-hak tinggi. Nah saya ! Karena repot dan nggak biasa, saya akhirnya mencopot sendal yang saya pakai dan lari sambil nyeker. Bodo amat deh, diketawain sama orang yang lihat.
Hmmm... jadi cantik itu memang sakit! Dan saya percaya itu.
Kadang saya heran, sama orang-orang yang tahan berlama-lama pakai sepatu ber-high heels, atau pakai kemben yang ketat atau pakai konde yang berkilo-kilo beratnya. Ya mungkin buat mereka, hal tersebut nyaman dipakai dan fine-fine saja. Tapi prinsip saya, yang penting nyaman ya saya pakai, mau itu kaos, dress, sepatu kets atau high heels sekalipun. Kalau nggak nyaman, ngapain juga dipakai, yang ada malah nyakitin diri sendiri hanya demi sebuah feminitas.
Justru saya pikir bahwa feminin dari segi penampilan fisik itu hanya salah satu unsur yang bisa menjadi nilai tambah dari feminitas perempuan. Toh, feminitas itu bisa muncul dalam beberapa hal, kan. Misalnya, saya pernah merasa memiliki sisi feminin yang kuat ketika saya ketika saya menggendong dan mengganti popok adik saya waktu kecil. Atau ketika saya berada diantara dua sahabat laki-laki saya dan menyiapkan makan siang untuk mereka_walaupun sebenarnya tidak hanya perempuan yang bisa memasak.
Ya mungkin sekarang ini, konsep feminitas sudah mulai bercampur dengan maskulinitas. Sehingga tidak jarang kita menemukan perempuan-perempuan dengan stelan pakaian seperti laki-laki dan berambut cepak, yang penting jangan sampai melupakan kodratnya sebagai perempuan. Bahkan dari salah satu sumber yang saya baca, secara psikologis dikatakan bahwa perempuan akan merasa lebih feminin saat kembali pada kodratnya.
Wah wah....
No comments:
Post a Comment