Sial. Aku terbangun oleh deringan handphone butut yang kusimpan tepat disamping telingaku. Lucy's calling. Meminta bertemu saat makan siang. Jam meja disamping menunjukkan pukul 09.45 Wib. Ah, mengapa sepagi ini Ia membangunkanku? Padahal sore kemarin kami baru bertemu. Bercinta. Tapi menolak ajakan perempuan sama saja dengan mencari masalah. Akhirnya gumaman 'hmmm...' keluar dari suara parauku untuk mengiyakan ajakan Lucy.
Lucy menyebut dirinya sebagai pacarku. Tapi aku tidak begitu. Kami dikenalkan oleh temanku yang juga teman Lucy. 2 tahun lalu. Dari perkenalan itu Lucy jadi sering mengajakku bertemu. Sampai akhirnya ia memintaku menjadi pacarnya. Aku tidak bermaksud mengabulkan permintaan Lucy. Tapi melihat ekspresinya yang begitu berharap, aku jadi teringat pesan mendiang Ibu: Perlakukan perempuan dengan sebaik-baiknya, seperti kamu memperlakukan Ibumu. Akhirnya ku jawab dengan anggukan. Saat itu aku benar-benar bingung.
Sebagai lelaki normal, akan menyesal jika menyia-nyiakan Lucy. Dia cantik dan seksi. Tidak sulit mengajaknya bermalam di kosanku. Tapi jangan salah menilai bahwa aku adalah tipikal lelaki yang hanya memanfaatkan perempuan untuk kepuasan seksual saja. Aku hanya menjalankan pesan ibu, perlakukan perempuan dengan sebaik-baiknya. Ketika dia tidak menolak, akan ku lanjutkan niatku, tentu dengan perlakukan yang lembut dan penuh penghargaan.
Kewaspadaan untuk membuatnya tidak hamil lebih besar daripada nafsuku. Aku selalu punya persediaan makhluk berbahan lateks berbagai rasa. Aku sebal jika dengar cerita teman yang pacarnya hamil dan meraung-raung minta tanggung jawab. Tak jarang pihak lelaki yang selalu menjadi empunya sebab. Padahal jelas-jelas proses produksi dilakukan bersama atas dasar suka sama suka. Makanya, jika persediaanku habis, paling banter kami hanya main Uno di kosan.
"Bang... Bang Jaka...."
Panggilan dari luar yang membangunkanku kedua kalinya. Suara Si Atun. Nama aslinya Nabila, anak pemilik kos-kosan. Tapi perawakannya mirip adiknya Si Doel, makanya ku panggil 'Atun'.
"Ada apaan, Tun?" Aroma harum masakan menyeruak saat ku buka pintu. Tangan Atun yang buntet menopang sepiring masakan yang tertutup tisu.
"Ini nasi goreng dari Mbak Sandra buat Abang. Udah rada nggak anget sih, abisnya dari tadi. Abang sih bangunnya siang."
"Kenapa nggak kamu makan aja, Tun? Kan kamu tahu Abang biasa bangun siang." Aku menyingkap tisu. Mengintip si nasi goreng. Ah aku ingat! Ini pasti gara-gara semalam. Saat aku membantu tugas statistika Sandra, penghuni kos lantai 2. Hmm, aku kan hanya berusaha memperlakukan perempuan dengan sebaik-baiknya, seperti pesan Ibu.
"Mbak Sandra ngelarang aku, lagian aku juga udah dikasih satu piring, hehe." Atun nyengir.
"Ya udah, jatah abang, kamu makan aja sana. Abang mau tidur lagi." Muka Atun berubah sumringah. Dasar gembul.
Sesaat setelah menutup pintu, nada sms berbunyi. Ini pasti dari Sandra. Benar saja. Ia menanyakan apakah nasi goreng buatannya sudah dimakan atau belum yang dibumbui dengan sapaan-sapaan mesra. Lalu ku jawab singkat: Sudah, thx.
Niat melanjutkan tidur ku batalkan. Aku jalan menuju kamar mandi. Buang hajat.
Perut penuh, gampang tinggal dibuang. Kalau pikiran penuh, kacau jadinya. Hari ini nasi goreng dari Sandra, kemarin cokelat dari Siska, temen satu jurusan. Karena aku membantunya mengangkat 5 dus aqua gelas bolak-balik dari lantai 1 ke lantai 3 aula kampus tanpa lift. Semua perlakuan terhadap perempuan ku lakukan karena menghargai pesan Ibu. Bukan untuk menggaet hati mereka. Apakah aku salah?
Tapi perempuan-perempuan itu selalu saja hadir dengan hadiah dan berujung pada permintaan yang bernada menuntut. Sejak kejadian angkat-angkat aqua gelas, Siska tak henti memintaku menjadi pacarnya, padahal ia tahu aku masih dekat dengan Lucy. Bahkan ia rela kujadikan selingkuhan. Dan nasgor Sandra pun pasti akan berakhir dengan masakah-masakan lain atau ajakan dinner atau ajakan 'pacaran yuk!'. Aku sebal, karena ajakan pacaran itu nantinya akan bermuara pada tuntutan 'nikahin aku dong, sayang'.
Aku yakin, siang ini pun Lucy akan menyanyikan lagu lama untuk kesekian kalinya. Mengigau menuntutku untuk cepat menikahinya. Bahwa menjadi suami dan menjadi ayah adalah suatu kehormatan. Tanpa perlu gelar sarjana dan susah-susah mencari kerja, kami bisa hidup dengan meneruskan usaha keluarga dari ayahku atau ayahnya yang sama-sama pengusaha. Begitu tuturnya.
Bah! Rasa-rasanya hidupku tak sebebas aktivitas seksualku. Tuntutan-tuntutan perempuan menjadi momok terbesar hidupku. Aku benci dituntut ini-itu. Aku ingin menjadi manusia bebas. Jika aku menikah, maka istri yang kunikahi akan menjadi Ibu untuk anakku. Aku tidak rela jika anakku nanti harus hidup dengan pesan-pesan yang dituntut Ibunya kepadanya, sama seperti aku yang dituntut pesan Ibu. Maka itu aku lebih tertarik mencari teman tidur ketimbang mencari istri.
Ku tekan tombol flush dengan sisa emosi yang tertahan. Kutanggalkan baju dan celana pendekku. Kemudian menyalakan shower membasuh badan. Mandi.
NB: Terinspirasi dari seorang teman. Tertantang untuk menelanjanginya lewat kata-kata.
No comments:
Post a Comment