Tuesday, July 27, 2010

Dewi Kumaratih dan Dewa Kumajaya

Hari ini adalah hari terakhir Ratih menjalani adat 'pingitan' atau 'sengkeran' sebelum melaksanakan pernikahannya dengan Jaya, calon suami yang dulu adalah kakak kelas Ratih di SMA, yang akan dilaksanakan lusa nanti. Dari sebelum subuh, Ibu sudah membangunkan Ratih untuk melaksanakan sahur dan berpuasa untuk melengkapi adat pingitan selama 3 hari belakangan ini.

Sejak dua bulan yang lalu, Bapak dan Ibu membentuk panitia yang terdiri dari kerabat dekat untuk membantu mempersiapkan segala macam persiapan untuk pernikahannya. Mulai dari lamaran, pembicaraan dengan besan dan sesepuh untuk menentukan hari pernikahan, undangan, kebaya sampai menu makanan. Ibu tidak memperbolehkan Ratih ikut repot dalam urusan pernikahan ini, kecuali untuk fitting baju dan tandhakan atau melapor ke KUA yang harus dilakukan oleh Ratih dan Mas Jaya sendiri.

"Tenang saja, Nduk. Kamu hanya cukup melaksanakan pingitan dan tata cara pernikahan saja, jadi ndak usah bantu apa-apa. Biar yang lain yang mengerjakan." Begitu kata Ibu, setiap Ratih menawarkan diri untuk memberikan bantuan.

Seperti sekarang ini, dari dua jam yang lalu Ratih menjalani ritual luluran tubuh dengan ramu-ramuan khas yang dibantu oleh Ibu Ida, rekan Ibu di arisan sekaligus pemilik rias pengantin adat Jawa, yang sengaja didatangkan oleh Ibu kerumah karena Ratih sedang dalam masa pingitan sehingga tidak boleh keluar rumah.

"Halo kanjeng putri..." teriak Byan, sabahat Ratih, yang tiba-tiba datang dan mengagetkan Ratih yang sedang menikmati ritual luluran tersebut. "Gilaaa.. Ini kamar sudah kayak salon saja. Benar-benar kayak putri lu, Tih." Byan kaget melihat kamar tamu yang sudah disulap sedemikian rupa seperti salon oleh Ibunya Ratih. Ibu Ida hanya tersenyum kecil melihat tingkah polah Byan, sambil meminta Ratih mengubah posisi berbaringnya menjadi duduk selonjoran, karena sekarang giliran jari kakinya yang akan dimanjakan oleh Ibu Ida.

"Sini.. sini.." Ratih mengajak Byan duduk disampingnya.

"Eh, kenapa sih akad nikah sama resepsi lu mesti hari Rabu? Gue kan mesti ke Surabaya, ngurusin gawean gue. Ya mudah-mudahan saja pas resepsi gue udah balik ke Jakarta." Jelas Byan.

"Yah jangan gitu dong, By. Masa pas akad nikah aku, kamu nggak ada. Terus resepsi juga terancam nggak datang." Sahut Ratih bete.

"Habisnya tanggal nikahan lu bentrok sama jadwal kerjaan gue, sih. Ya mudah-mudahan saja gue dapat pesawat pagi, biar bisa datang ke resepsi lu."

Ratih tersenyum mendengar jawaban Byan. Kalau saja ia boleh memilih kapan waktu pernikahannya, pasti Byan akan menemaninya melewati moment paling berharga dalam hidupnya. Bapak dan Ibu serta orang tua Mas Jaya beserta sesepuh yang mengerti mengenai perhitungan tanggal Jawa sudah menentukan hari baik untuk pernikahannya berdasarkan weton atau hari lahir Ratih dan Mas Jaya. Dalam masalah penanggalan, baik Bapak atau Ibu maupun orang tua Mas Jaya yang sama-sama keturunan Jawa, tidak mau asal-asalan mencari tanggal karena ini demi kebaikan masa depan pernikahan putra-putri mereka.

"Tadi gue liat didepan, nyokap lu sibuk banget, ya? Ngurusin ini lah, ngurusin itu lah. Lu juga sama, mau-maunya ngejalanin tata cara yang ribet banget, pake acara pingitan segala lagi." protes Byan sambil menikmati jenang, makanan manis dari ketan hitam. "Hebat juga lu, tiga hari nggak ketemu sama Mas Jaya-Mu. Kalau gue sih, ogah banget ngejalanin kayak ginian."

"Nikahan ala Jawa itu memang njelimet, By. Tapi itu seninya." jawab Ratih. "Dari kecil, aku memang kepengen banget nikah dengan adat Jawa. Waktu Mas Jaya ngobrol dengan Bapak perihal niatnya untuk melamar aku, Ibu jatuh hati dan langsung kepengan jadiin Mas Jaya sebagai mantunya. Apalagi pas tahu kalau Mas Jaya juga sama-sama keturunan Jawa." Ibu Ida memohon ijin ke belakang untuk mempersiapkan ramuan luluran lainnya. Ratih sejenak membenarkan kemben batik yang mulai longgar menutupi tubuhnya.

"Waktu menikahkan Mas Bara kan, ibu tidak bisa melaksanakan impiannya untuk menikahkan anaknya dengan adat Jawa. Makanya di pernikahan ini, Ibu sangat senang dan bersemangat sekali, karena impiannya sebentar lagi akan terkabulkan."

Ratih ingat, Ibu sedikit kecewa ketika Mas Bara -kakaknya- menikah. Bukan karena tidak setuju dengan Mbak Rina -istrinya-, tetapi karena pada saat itu pernikahan tidak menggunakan adat Jawa, tetapi adat Palembang sesuai dengan keinginan keluarga besar Mbak Rina. Tetapi kekecewaan Ibu kini terobati. Sebentar lagi, perayaan adat Jawa yang terbilang mewah akan diselenggarakan. Pernikahan ini sengaja dilaksanakan secara besar-besaran, karena menjadi pengalaman pertama bagi keluarga Mas Jaya. Sedangkan untuk keluarga Ratih, ini adalah pernikahan penutupan karena Ratih adalah anak bungsu.

Tidak ada lelah yang terlihat di wajah Ibu, kecuali senyuman yang mengembang dengan ringan dibibirnya. Berulang kali, Ibu mengingatkan Ratih karena besok akan diadakan Siraman dan Midodareni, malam melepas masa lajang.

Ibu begitu sibuk dengan ritual dan kegiatan berkaitan dengan tata cara pernikahan Jawa. Untungnya Ibu tidak seperti Bu'de Endang, sahabat Ibu, yang sangat berlebihan mempercayai mitos dan pantangan dalam pernikahan Jawa. Misalnya tentang tidak diperkenankannya anak pertama dan anak ketiga untuk menikah, karena akan membentuk angka 13 yang dianggap sebagai angka sial seperti kepercayaan Orang Eropa. Pernah tahun lalu, ketika menikahkan anak bungsunya, Bu'de Endang percaya bahwa Naga Dina (naga harian) ada di selatan, sehingga ketika akan menuju rumah mempelai perempuan kita tidak boleh lewat arah utara agar terhindar dari mulut sang naga yang selalu menganga. Terpaksa saya, Ibu beserta keluarga besar Bu'de Endang harus melalui arah timur dan berjalan melewati gang sempit serta pemukiman warga yang tidak bisa dilalui mobil, demi tidak melanggar pantangan pernikahan tersebut.

Besoknya, Ibu me-recheck ubarampe atau perlengkapan untuk siraman yang akan dilaksanakan sebentar lagi. Mbak Sinta, sepupu Ratih, memberikan laporan kepada Ibu bahwa dodol dawet sudah siap.

Setelah melalui prosesi siraman yang begitu sakral dan mengharukan. Dilanjutkan dengan adat menjual dawet. Ibu yang menjadi penjualnya dan Bapak yang memayungi Ibu sambil berkeliling mencari para tamu yang menjadi pembelinya dengan menukarkan kreweng atau uang pecahan genting. Dari jauh, Ratih tersenyum melihat Ibu dan Bapak. Ibu percaya bahwa ritual ini diharapkan agar nanti saat Upacara Panggih dan resepsi banyak tamu dan rezeki yang datang.

Pada malam harinya, Mas Jaya dan keluarga besar mendatangi kediaman Ratih untuk melaksanakan midodareni. Setelah tiga hari tidak bertemu Mas Jaya, Ratih begitu pangling melihat Mas Jaya yang menurutnya semakin ganteng. Begitu juga, dengan Ratih seperti widodareni atau bidadari dimata Jaya. Dalam dunia pewayangan, kecantikan dan ketampanan calon pengantin diibaratkan Dewi Kumaratih dan Dewa Kumajaya.

Selesai melaksanakan Midodareni, Ratih segera menuju kamarnya untuk mengistirahatkan badannya agar tampil fresh esok hari. Tahap demi tahap tata cara adat Jawa telah Ratih laksanakan, tinggal menunggu tahap puncak esok harinya, yaitu akad nikah dan Upacara Panggih yang terdiri dari berbagai ritual lainnya, seperti liron kembang mayang atau menukar kembang mayang, gantal atau melempar sirih, ngidak endhog atau menginjak telur sebagai simbol seksual pecahnya pamor kedua mempelai dan simbol tanggung jawab seorang suami serta kesetiaan seorang istri, sindur atau berjalan menuju pelaminan sambil diiringi alunan gending, dulangan atau saling menyuapi sampai sungkeman.

Ibu mengetuk pintu kamar Ratih. Setelah dipersilahkan masuk, Ibu menghampiri Ratih yang sedang berbaring ditempat tidurnya.

"Nduk, Ibu sangat bahagia sekali." Sahut Ibu sambil duduk disebelah Ratih. Ratih menjatuhkan kepalanya dipangkuan Ibu. "Kewajiban Ibu dan Bapak sebagai orang tua hampir selesai. Jaya memiliki bibit, bebet dan bobot yang baik dimata Ibu dan Bapak." Ibu menghela napas sejenak sambil terus mengusapi rambut Ratih. "Ibu juga senang, karena impian Ibu untuk menikahkan kamu dengan adat Jawa sudah terkabulkan. Walaupun njelimet, tapi Ibu ndak capek. Karena dibalik ritual-ritual itu ada harapan-harapan yang baik untuk pernikahan kalian. Kamu bukan anak bau kencur lagi, Nduk. Saiki wis pecah pamore (sekarang sudah pecah pamornya)."

Ibu menutup pembicaraan dengan mengecup kening Ratih sambil meneteskan air mata. Begitu juga Ratih yang ikut terharu mendengar pernyataan Ibu. Ia memandangi kebaya modern berwarna putih yang menggantung dikamarnya yang akan dikenakan besok diacara akad nikah. Ia memejamkan mata sambil membayangkan betapa cantiknya ia mengenakan kebaya tersebut dan duduk bersanding dengan Mas Jaya di pelaminan nanti.

No comments:

Post a Comment