Wednesday, July 14, 2010

(Bukan) Panggung Sandiwara

Beberapa hari yang lalu, seorang teman membuka ingatan saya pada satu cerita lama yang sangat, ya sangat menyebalkan dan menyakitkan. Jujur, saya agak kurang tertarik ketika dia -teman saya- memulai percakapan tentang cerita lama itu. Tapi nggak mungkin kan kalau saya pasang tampang bete didepan dia, akhirnya saya mencoba mendengarkan apa maksud pembicaraannya.

Sebelum dia meneruskan ceritanya, saya sudah menebak kemana arah pembicaraan kami. Dan benar saja, tebakan saya tepat sekali. Dia mencoba mengajak saya untuk menjawab 'Iya' dan kembali menjadi lakon disuatu panggung dan memainkan peran yang berkaitan dengan cerita lama tersebut.

Ah saya kan bukan pemain drama yang handal apalagi aktris papan atas yang terkenal. Tapi kenapa untuk kedua kalinya, saya terus diajak berperan di panggung yang sudah saya blacklist sebagai kegiatan yang tidak ingin saya lakukan lagi.

Dengan rasionalisasi keadaan panggung yang sekarat dan lakon-lakon muda yang dikhawatirkan tidak mampu mempertahankan panggung tersebut, dia tetap mengajak saya untuk bermain kembali, dengan harapan dapat membangkitkan kembali panggung tersebut. Setelah berbicara panjang lebar, dia kemudian pergi tanpa perlu saya menjawab ajakannya. Tentu saja, saya pun tidak akan langsung memberinya jawaban walaupun dia meminta, toh jawaban saya sekarang masih tetap sama dengan jawaban saya terdahulu, dan feeling saya mengatakan bahwa rekan-rekan yang senasib dengan saya pun memiliki jawaban yang sama jika diajak kembali melakon dipanggung tersebut. Tentu tidak mudah mengiyakan, karena -secara kasar- ini menyangkut harga diri.

Sebenarnya, bukan lakon-lakon muda atau panggungnya sendiri yang membuat saya tidak mau bergabung lagi, tetapi karena sutradara handal yang menguasai panggung tersebut. Yeah, ini hanya sudut pandang dan prasangka saya saja.

Sejak awal perjalanan panggung ini, saya sudah mencium ketidakenakan terhadap beliau, ditambah lagi dengan desas-desus track-record beliau yang sangat 'manis'. Dan kemudian saya pun bertemu beliau dalan suatu perayaan yang mengakibatkan kami bersitegang. Dengan segala kekesalan dan sakit hati yang membuncah dalam hati terhadap beliau -yang telah menyakiti hati saya dan rekan-rekan saya-, saya membeberkan kejahatan sang sutradara dan antek-anteknya tersebut. Walaupun mengakibatkan cibiran atau cap jelak sebagai junior-yang-tidak-tahu-sopan-santun. Terserah. Diasingkan pun saya tidak peduli. Seperti kutipan syair Gie: 'lebih baik diasingkan daripada menyerah pada kemunafikan.'

Ya, karena yang saya pedulikan adalah bagaimana caranya agar semua audiens mengetahui topeng asli dari sang sutradara. Karena semua itu semata-mata saya lakukan demi membuktikan seberapa 'sehat'nya panggung kita. Mungkin banyak yang menganggap saya sebagai pahlawan kesiangan, tetapi apakah kita harus tetap diam jika melihat ketidaksehatan didepan mata kita?

Biarlah masyarakat yang menilai. Kalimat itu yang selalu saya gumamkan setiap tak sengaja mendengar atau mendengar secara langsung dari orang-orang yang menanyakan perihal ini.

Biarkan juga waktu yang akan menjawabnya. Toh, sekarang para pecinta panggung mulai merasakan detak jantung panggung yang mulai melemah. Apalagi sepeninggal sutradara dari dunia per-panggung-an yang menyisakan warisan sebuah-maha-karya-kesemrawutan-panggung yang seolah-olah menjadi pekerjaan rumah yang harus diselesaikan oleh kami semua, termasuk saya dan rekan-rekan saya. Beuhh, permainan macam apa ini!

No comments:

Post a Comment