Dengan tisu, saya menyeka peluh yang menempel di dahi. Sambil melepas jaket, saya mengutuki udara Bandung yang panas di siang hari itu. Saya berjalan mendekati kios Es Kelapa Muda, membayar rasa haus yang tertahankan sejak saya tiba di Bandung.
"Kang, meser es kelapa na hiji." Ujar saya pada Si Mang Es dengan Bahasa Sunda yang 'lumayan' untuk ukuran pendatang seperti saya. Sambil menunggu es buatan Si Mang, saya duduk di kursi kayu yang sudah disediakan sambil melihat-lihat lingkungan sekitar.
Walaupun jarak antara Bandung dan Jakarta lumayan dekat karena dipermudah dengan adanya tol Cipularang, tapi baru kali ini saya mengunjungi Bandung lagi, sekalian untuk urusan kerjaan juga. Terakhir saya datang ke Bandung sekitar 10 tahun yang lalu ketika Nenek saya masih hidup dan tinggal di Bandung. Setelah itu, saya tidak pernah lagi ke Bandung karena rumah Nenek saya sudah dijual sehingga tidak ada tempat untuk menginap, ditambah lagi dengan kesibukan pekerjaan saya.
"Nuhun, Kang." Ucap saya ke Mang Es yang mengantarkan es pesanan saya. Dengan segera saya menyeruput es kelapa tersebut. "Bandung sekarang berubah ya, Kang." Saya membuka pembicaraan. Di kios itu hanya ada saya dan Si Mang Es yang sibuk memainkan handphone sejenis Blackberry ditangannya.
"Ya iya atuh, Neng." Jawab Si Mang Es tanpa mengalihkan pandangan dari handphonenya.
Melihat kesibukan Si Mang Es, saya jadi ragu meneruskan pembicaraan. Mungkin dia sedang sibuk ber-sms-an dengan pacarnya atau ber-facebook ria.
"Sekarang mah Bandung teh rame pisan. Kayak Jakarta weh, kota met...tropo...lit...tan." Ujar Si Mang Es sambil terbata-bata mengucapkan kata 'metropolitan'. Handphonenya sudah ia masukkan ke saku celana jeansnya.
"Iya, Kang. Panasnya sih, hampir sama kayak Jakarta." Saya jadi ingat setiap saya mau liburan ke rumah Nenek di Bandung, saya dan kakak saya pasti sibuk mempersiapkan jaket dan sweater. Tidak ada yang berani mandi pagi. Kalau keluar disiang hari pun selalu menggunakan jaket atau sweater. Dan setiap malamnya, nenek selalu menyediakan semangkuk sekoteng yang dicampur air jahe dan kacang goreng untuk menghangatkan badan kami. Eh, saya jadi ingat penjual sekoteng yang suka mangkal nggak jauh dari kios es ini.
"Kang, kalau penjual sekoteng yang diseberang jalan sana masih jualan?" tanya saya.
"Tukang sekoteng?" Si Mang Es malah balik nanya dengan heran. "Ahh itu mah udah bangkrut, Neng. Si Neng mah ada-ada saja, ngapain atuh jaman sekarang nanyain sekoteng. Kiosnya juga udah dibeli terus dijadiin kape. Tuh liat..." Jawab Si Mang Es sambil menunjuk sebuah Cafe kopi diseberang jalan sana. Mobil mewah berjejer di parkiran, banyak muda-mudi yang duduk santai sambil ngobrol, merokok dan makan siang, sekedar untuk mengenyangkan perut atau menaikkan gengsi.
"Katanya Neng, disana juga mau dibangun mol." Si Mang Es menunjuk bangunan tertutup seng yang berjarak sekitar 100 meter dari cafe kopi tersebut.
"Di bangun Mall? Bakal macet, dong. Jalannya kan kecil. Kalau nggak salah, jalan itu cuma buat pejalan kaki aja deh."
"Yang jalan kakinya juga jarang atuh, Neng. Sekarang mah mobil juga boleh lewat situ. Didepan jalan sini juga ya, Neng," sambil menunjuk jalan raya didepan kiosnya. "Kalau malam sering macet. Sampai subuh juga masih rame, kan anak muda sekarang mah gaul-gaul suka ajep-ajep gitu deh." Si Mang Es menarik napas sebentar. "Kalau malam juga suka ada yang beli es kesini. Meuni pada seksi-seksi terus gareulis, tapi sok rada-rada bau minuman gitu. Ahh da saya mah senang-senang saja, nu penting mah jualan saya laku, terus saya juga bisa lihat paha gratisan. Hahaha..." Si Mang Es tertawa puas.
"Lumayan lah, daripada barudak leutik nu suka nge-lem, sok minta es tapi tara mayar." Si Mang Es menambahkan.
Benar kata Si Mang Es, di terminal Leuwi Panjang tadi saya juga melihat dua orang anak yang berumur sekitar 8 tahun, lagi mojok sambil menghisap lem aibon.
Kemudian, Si Mang Es melanjutkan pembicaraan tentang perubahan Kota Bandung yang tidak saya ketahui. Cukup lama kami terlibat pembicaraan tersebut.
Setelah menghabiskan sisa es kelapa yang masih ada digelas, saya kemudian memberi satu lembar lima ribuan ke Mang Es dan permisi pergi.
Sambil berjalan meninggalkan kios es tersebut, saya memikirkan obrolan dengan Si Mang Es tadi. Tentang Bandung yang telah berubah, tentang udara dingin yang memanas, tentang macet yang menjadi gaya hidup, tentang cafe dan mall yang menjadi aksesoris kota, tentang pesta malam yang menjadi rutinitas, tentang sekoteng yang sudah bangkrut, tentang paha yang di umbar-umbar, tentang lem aibon yang menjadi kebutuhan primer, tentang binatang yang menjadi sapaan akrab, tentang polusi yang bebas mengudara, tentang bangunan tua yang rata dengan tanah, tentang....
Ahh, rasa-rasanya niatan untuk bernostalgia dengan Bandung mulai menghilang, gumam saya dalam hati sambil mempercepat langkah menuju tempat yang saya tuju, agar saya dapat menyelesaikan pekerjaan dengan cepat dan kembali ke ibu kota.
(Catatan ringan di sela kerinduan akan semangkuk sekoteng dan Bandung tempoe doeloe)
No comments:
Post a Comment