Thursday, May 3, 2012

Hysteria (2011)

By the way, pernah denger istilah sex toys? Kalau pernah, berarti tahu dong apa yang dimaksud dengan dildo? Upss, geernya saya sih tulisan ini dibaca sama 18+ hehe. Pernah nggak sih terlintas dalam pikiran kalian kenapa mesti ada dildo? Hmmm, awalnya saya juga nggak ngerti. Saya pikir, kalau masih ada laki-laki yang normal, ngapain mesti menciptakan alat seks berbentuk replika p*nis laki-laki yang bisa bergetar? :p

Tapi akhirnya, wawasan saya tentang si dildo ini jadi bertambah setelah saya nonton Film Hysteria (2001), sebuah drama komedi yang menceritakan tentang asal muasal penemuan vibrator tersebut. Lucunya, di 2 menit pertama film tersebut menayangkan sebuah tulisan: "This story is based on true events. Really." Haha, takut ada yang nggak percaya kali ya.


Film Hysteria menceritakan tentang Dr.Mortimer Granville (si penemu vibrator) yang dipecat dari rumah sakit tempatnya bekerja karena adanya ketidaksesuaian idealisme antara dirinya dengan atasannya. Kemudian, ia mencari kerja lagi sampai akhirnya diterima di tempat praktik khusus gangguan Hysteria milik Dr.Robert Dalrymple. Dr.Robert Darlymple memiliki dua anak perempuan yang memiliki kepribadian yang berbeda. Emily Dalrymple, seorang perempuan yang lembut tetapi betah bertahan hidup dibawah ketiak ayah. Berbeda dengan kakaknya, Charlotte Dalrymple, yang begitu meledak-ledak, berani dan aktif dalam kegiatan-kegiatan sosial yang membela kaum perempuan dan kaum marginal.

Di tempat praktiknya yang baru, Dr.Mortimer Granville harus menggantikan Dr.Robert Darlymple dalam melakukan terapi untuk menangani pasien-pasien Hysteria. Pada saat itu, gangguan Hysteria sedang banyak dialami oleh para perempuan. Terapi yang dilakukan yaitu dengan cara merangsang perempuan untuk mencapai orgasme dengan cara menggerak-gerakkan jari-jari si dokter didalam (maaf) kemaluan perempuan yang mengalami gangguan tersebut. Saking seringnya melakukan terapi tersebut, tangan Dr.Mortimer Granville menjadi kaku dan pegal-pegal. Sampai-sampai untuk menyendok makanan pun tidak bisa. Sampai akhirnya, muncullah ide untuk membuat suatu alat vibrator untuk mengambil alih tugas tangannya yang ia kembangkan bersama sahabatnya, Edmund St. John-Smythe. Akhirnya terciptalah alat vibrator, yang diakhir cerita dijelaskan bahwa alat tersebut menjadi perangkat seks paling populer di dunia.

Terlepas dari jalan ceritanya, film Hysteria memberikan suatu pemahaman menarik untuk saya. Bermula ketika diawal film ditayangkan testimonial para pasien hysteria. Dengan berat hati mereka bercerita tentang keluhan-keluhan yang mereka rasakan. Bagaimana sulitnya mengelola rumah tangga sendirian, perasaan hampa, kesepian ditinggal mati suami atau ketidakpuasan seksual yang dialami. Sayangnya, justru mereka lebih banyak memendam keluhan-keluhan tersebut. Dengan posisi yang dibawah laki-laki, mereka tidak berani bicara karena hak-hak mereka terhalangi. Tekanan-tekanan batin itulah yang akhirnya memunculkan gangguan hysteria. Ah, isu-isu perempuan yang termarginalkan memang tidak pernah habis untuk dibahas.

Kalau saya cermati, bisa saja ketidakpuasan seksual yang berakhir pada gangguan hysteria itu misalnya berasal dari pengalaman orgasme yang tidak dialami perempuan saat berhubungan seksual. Kan ada kasus, dimana hubungan seksual berakhir setelah si suami sudah mencapai orgasme, tanpa memperhitungkan apakah si istri sudah puas (orgasme) atau belum. Yang akhirnya, si istri jadi berpura-pura sudah mencapai orgasme demi suaminya. Kalau sepemahaman saya sih, yang namanya hubungan seksual kan dilakukan oleh berdua. Berarti idealnya keuntungannya pun mesti dirasakan berdua dong. Suami puas, istri juga puas :p

Dari beberapa artikel, kesulitan perempuan mencapai orgasme bisa saja terjadi karena kualitas hubungan seksual yang rendah yang disebabkan karena kelelahan yang mungkin sedang dialami perempuan, stres, kondisi kesehatan yang kurang baik ataupun kurangnya penghargaan dari suami yang membuat istri merasa rendah diri. Kadang jadi miris, sudah mah tidak merasakan orgasme, eh si istri juga tidak pandai mengkomunikasikan apa yang dirasakannya pada suami. Lebih parahnya lagi, suami pun kurang peka dengan keadaan istri. Kalau keadaannya seperti itu, tidak heran kan kalau akhirnya makhluk bernama dildo itu muncul ke dunia?

Dari total durasi selama 90 menit, setidaknya ada pelajaran berharga yang saya dapat dari film tersebut. Pentingnya memiliki pendirian yang teguh seperti Dr.Mortimer Granville, serta pentingnya keberanian untuk berpendapat dan memperjuangkan hak-hak secara positif seperti yang dilakukan Charlotte Dalrymple. Terutama untuk perempuan, jangan mau terus-terusan hidup dibawah ketiak laki-laki yang tidak bisa bahkan tidak mampu membahagiakan kita dengan benar ya. Film ini direkomendasikan baik untuk perempuan maupun laki-laki lho.

NB: Dari tadi saya meracau sok tahu tentang orgasme, haha. Maaf ya kalau sotoy, saya sendiri nggak tahu secara langsung apa dan bagaimana orgasme itu, cuma tahu dari cerita-cerita di artikel aja, hihiii :p

No comments:

Post a Comment